Pasti sebagian besar masyarakat Indonesia tidak atau belum mengetahui adanya uang kertas seperti pada gambar di atas. Memang uang kertas tersebut batal beredar. Paling-paling masyarakat bisa melihat foto uang tersebut pada buku-buku katalog uang kertas. Bisa juga melalui Museum Bank Indonesia.
Sebenarnya setelah pemerintah Orde Baru mengeluarkan uang kertas Seri Sudirman pada 1968, pada 1971 akan beredar Seri Diponegoro. Ketika itu sudah disiapkan nominal Rp 100, Rp 500, Rp 5.000, dan Rp 10.000. Penanda tangan uang adalah Drs. Radius Prawiro dan Durmawel Achmad S.H dengan pencetak P.N. Pertjetakan Kebajoran, Imp.
Namun entah mengapa, keempat nominal ini batal beredar. Namun keempat foto dan data spesifikasi koleksi ada pada buku Katalog Uang Kertas Indonesia semua edisi. Informasi yang lebih lengkap ada pada buku Oeang Noesantara, Terkarang oleh Uno.
Kemungkinan besar, sebagaimana buku Banknotes and Coins from Indonesia 1945-1990, pada 23 Agustus 1971 Kabinet Pembangunan I mendevaluasi rupiah dengan 10 persen. Semula nilai tukar rupiah terhadap dollar AS adalah $1 = Rp 378, sejak itu menjadi $1 = Rp 415. Jadi Seri Diponegoro ditarik kembali.
Namun akhirnya pada 1975 pemerintah mengedarkan emisi Diponegoro nominal Rp 1.000. Uang ini ditandatangani oleh Drs. Rachmat Saleh dan Soeksmono B. Martokoesoemo. Pencetaknya Perum Peruri.
Pada tahun yang sama juga beredar nominal Rp 5.000 dengan gambar utama seorang nelayan yang di kalangan numismatik dikenal sebagai 'penjala'.
Sebelum 1975, sudah ada uang kertas dan uang logam (koin) bergambar Diponegoro. Dalam Seri Kebudayaan 1952, uang Diponegoro termasuk salah satu di antara seri penerbitan itu. Gambar Diponegoro terdapat pada uang bernominal Rp 100. Uang itu ditandatangani oleh Mr. Indra Kasoema dan Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Pencetaknya Johan Enschede en Zonen.
Pada 1952 juga dikeluarkan koin Diponegoro nominal 50 sen. Nominal 50 sen dikeluarkan lagi pada 1954, 1955, dan 1957. Adanya empat variasi cukup menguntungkan dunia koleksi atau numismatik. Yang unik, pada emisi 1952 ada tulisan Arab, namun pada emisi-emisi selanjutnya tulisan Arab diganti oleh tulisan Latin.
Nama Diponegoro populer dalam buku-buku sejarah. Apalagi saat terjadi Perang Diponegoro melawan pihak Belanda pada 1825-1830. Tempat pengasingan atau tempat ia dipenjara di berbagai tempat, sampai kini tetap dilestarikan, antara lain di dalam Museum Sejarah Jakarta, Magelang, Minahasa, dan Makassar.*** Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H