Beberes dokumentasi lama memang melelahkan. Apalagi banyaknya lima kontener. Namun setelah melihat-lihat isinya, rupanya cukup bermanfaat sebagai penangkal kebosanan. Ada rasa bahagia, nostalgia, sedih karena ada teman sudah meninggal, dll. Pokoknya banyak sekali.
Foto-foto itu saya buat pada masa 1980-an di tempat-tempat yang saya kunjungi. Ada klise atau film negatif hitam putih dan berwarna. Ada slide atau film positif. Ada pula puluhan album foto hitam putih dan berwarna.
Saat itu tidak banyak orang bisa memotret. Maklum agak rumit. Kita harus menyesuaikan ASA film dengan bukaan atau diafragma. Kita pun harus benar-benar yakin bahwa obyek foto sudah fokus. Kalau tidak fokus, bisa-bisa foto menjadi blur atau samar.
Kemudian film itu dicuci cetak. Di situlah kita bisa melihat hasil jepretan kita. Beda dengan sekarang, siapa saja bisa menjadi 'fotografer'. Itulah perkembangan zaman.
Pada kesempatan ini saya ingin bercerita tentang Jakarta masa 1980-an itu. Pertama, soal Patung Arjunawijaya di antara Jalan Medan Merdeka Barat dengan Jalan M.H. Thamrin. Semula patung itu berwarna kuning. Namun kemudian berubah warna. Silakan baca tulisan saya beberapa tahun lalu [di sini].
Pada hari libur, Patung Arjunawijaya sering didatangi pengunjung. Anak-anak sangat senang melihat patung itu. Sampai sekarang patung itu sering menjadi obyek foto, apalagi saat Hari Bebas Kendaraan Bermotor. Patung Kuda, begitulah sebutan populer untuk patung itu.
Pada 1980-an di Jakarta banyak bersliweran kendaraan rakyat yang disebut bajaj. Kendaraan roda tiga ini berasal dari India. Bajaj biasanya mengangkut penumpang di luar jalan protokol. Kebanyakan beroperasi di jalan lingkungan atau perumahan.
Ada proses tawar-menawar untuk menaiki bajaj yang didominasi warna oranye. Sayang lama-kelamaan susah mencari onderdil bajaj. Akibatnya antarbajaj saling kanibal. Artinya, bila bajaj yang satu membutuhkan onderdil tertentu, maka onderdil tersebut diambil dari bajaj lain. Dampaknya tentu saja si bajaj yang diambil onderdilnya, tidak bisa beroperasi.
Karena memakai bahan bakar solar, suara bajaj sangat berisik. Ini tidak disukai penumpang. Polusi udara pun terjadi di mana-mana. Bajaj dituding menjadi salah satu penyebab. Sedikit demi sedikit bajaj oranye mulai digantikan bajaj biru yang berbahan bakar gas. Gas dianggap ramah lingkungan. Suaranya pun tidak berisik dan menghemat biaya bahan bakar.