Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sejak Masa Kolonial Kita Kaya Sekali dengan Uang Kertas

1 September 2020   14:18 Diperbarui: 1 September 2020   14:31 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau tidak ada buku ini, mungkin kita tidak tahu yang namanya uang kertas Probolinggo. Pada 1990-an saya mendengar sepintas kalau kolektor Indonesia berhasil mendapatkan satu set uang kertas Probolinggo dari lelang internasional. Jangan ditanya harganya karena sangat aduhai.

Uang kertas Probolinggo terdiri atas enam nominal, yakni 100, 200, 300, 400, 500, dan 1000 ringgit atau rijksdaalders. Penanda tangan uang adalah M.W. van Hoesen dan J.C. Romswinkel.

Buku Oeang Noesantara, Terkarang oleh Uno (koleksi pribadi)
Buku Oeang Noesantara, Terkarang oleh Uno (koleksi pribadi)
Uang Probolinggo

Menurut buku ini, Oeang Noesantara (2015), di bidang agraria Gubernur Daendels mengeluarkan ketetapan baru yang sebelumnya tidak ada, yakni penjualan tanah partikelir. Uang yang diperoleh akan digunakan untuk menutupi kekurangan pembangunan dan pertahanan di Jawa. Kalau sebelumnya, tanah hanya boleh dimiliki oleh keturunan Eropa, tapi kali ini keturunan Timur Asing diperbolehkan.

Pada kunjungan 30 Juni 1810 ke Jawa Timur, Daendels setuju menjual tanah itu seharga 400.000 Real Spanyol kepada seorang mayor Cina di Probolinggo, Han Tjan Pit. Ia meneruskan usaha ayahnya, Han Boey Ko, yang memiliki hak penyewaan tanah perkebunan di Besuki dan Panarukan.

Namun karena ada masalah pada peredaran uang logam dan pembayaran secara tunai, maka Daendels menerbitkan kertas berharga atau nota kredit sesuai dengan nilai tanah yang dihipotikkan, yaitu sebesar 1.000.000 ringgit.

Tentu saja narasi menjadi penting. Apalagi, Untoro atau Uno, penulis buku ini seorang kolektor senior (numismatis) yang senang membaca buku-buku sejarah.

Uang kertas Bodjonegoro 1948 (Foto: Oeang Noesantara)
Uang kertas Bodjonegoro 1948 (Foto: Oeang Noesantara)
ORIDA

Bertahun-tahun ia habiskan waktu untuk menyelesaikan buku ini. Buku karyanya itu memiliki ketebalan 520 halaman, dilengkapi gambar dan kisah tentang uang-uang kertas yang pernah beredar di Nusantara. Dimulai dari masa kolonial hingga masa De Javasche Bank. Lanjut masa Republik Indonesia dan Bank Indonesia. Dari masa revolusi fisik 1945-1949, Uno menampilkan uang kertas yang disebut ORI, ORI Baru, dan ORIDA. ORI singkatan dari Oeang Repoeblik Indonesia yang kemudian menjadi URI. Sementara tambahan DA berarti Daerah. Ada berbagai jenis uang daerah, seperti coupon penukaran, bon contan, dan mandat.

ORIDA dikeluarkan pada masa 1947-1949 karena tentara Belanda yang ingin berkuasa kembali memblokade banyak daerah di Jawa dan Sumatera. Akibatnya pemerintah pusat mengizinkan kabupaten, karesidenan, dan kawedanaan mengeluarkan uang darurat. Dulu alat cetak sangat sederhana. Kertas yang digunakan pun seadanya, seperti kertas tulis, kertas stensil, dan kertas kopi.

Dalam buku ini ada 37 orang penyumbang gambar dan informasi. Jelas kerja gotong royong amat diperlukan untuk kelengkapan buku ini.

Emisi Coen Tongkat (1897-1924), Batavia (Foto: Oeang Noesantara)
Emisi Coen Tongkat (1897-1924), Batavia (Foto: Oeang Noesantara)
De Javasche Bank

Ternyata De Javasche Bank banyak menerbitkan uang kertas. De Javasche Bank kelak menjadi Bank Indonesia.

Emisi JP Coen menjadi salah satu terbitan De Javasche Bank. Berbagai seri Coen pernah memperkaya dunia numismatik kita. Yang cukup dikenal emisi Merkurius (1897-1924). Pada uang kertas ini gambar Coen terdapat di bagian kanan, sementara gambar Merkurius di bagian kiri. Karena dewa Merkurius itu memegang tongkat, maka populer disebut Coen tongkat.

Banyak uang kertas dari berbagai periode diungkapkan buku ini. Di dalam buku banyak narasi sejarah. Beberapa proof atau cetakan percobaan ada dalam buku ini. Bagitu juga uang specimen atau uang contoh. Bahkan buku ini diperkaya dengan gambar-gambar uang kertas yang urung diedarkan.

Buku ini ibarat museum. Kalau saja gambar dan narasi di dalam buku ini dikonversi ke dalam museum, mungkin lebih menarik. Semoga nanti ada Museum Uang Kertas Nusantara. Foto-fotonya cukup digital karena sekarang teknologi semakin berkembang. Yang penting narasi yang lengkap supaya menambah wawasan pengunjung.

Ternyata sejak zaman kolonial, kita kaya sekali dengan uang kertas. Mungkin saja ada yang belum ditemukan, terutama pada masa Agresi Militer I dan II (1947-1949).

Nah, demikianlah sedikit cerita dari buku Oeang Noesantara, Terkarang oleh Uno. Nanti saya sambung dengan cerita lain.***

   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun