Saya pun mengamati alas kaki mereka. Bermacam-macam bahan mereka pakai. Alas kaki yang tergolong kasar tentu akan membahayakan batu candi.
Pemakaian alas kaki khusus, itulah kesimpulan saya kemudian. Ternyata pemakaian alas kaki khusus diaplikasikan oleh Balai Konservasi Borobudur sekitar dua tahun lalu. Begitu juga pelapisan anak tangga. Senang rasanya hasil penelitian saya 30 tahunan kemudian bermanfaat.
Begitulah setiap hari kerja saya. Siang hari saya makan di sebuah area yang sudah ditetapkan. Ada dua warung makan yang menjadi langganan saya. Maklum, saya dikenalkan oleh petugas Candi Borobudur. Soalnya mereka tahu mana orang lokal dan mana wisatawan. Harga makanan untuk wisatawan tentu lebih mahal.
Di area warung makan dan kios cendera mata, kondisi masih semrawut. Banyak bangunan tengah dibongkar. Nantinya di area itu akan dibangun taman wisata.
Beberapa keributan kecil sering terjadi antara petugas dengan penduduk setempat. Hal itu berkenaan dengan ganti untung tanah dan obyek di atasnya seperti pohon. Ternyata perlu 'akal-akalan' untuk mendapat ganti untung. Dan perlu 'kelihaian' untuk melawan 'akal-akalan' itu.
Menurut petugas ketika saya tanya, beberapa pohon itu milik tetangganya yang sudah diberi kompensasi. Pohon-pohon itu lalu dicabut dan ditanam di tempat yang belum terjamah petugas. Yang satu bersikeras pohon miliknya, petugas berdalih itu pohon tetangga jadi tidak dihitung.
Setiap pagi dan sore saya keliling. Wilayah di sana ibarat sehabis perang. Banyak tembok batu sudah hancur lebur. Bahkan rata dengan tanah.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H