Masa kolonisasi atau pendudukan oleh bangsa asing menjadi masa-masa buruk bagi pemerintah dan bangsa Indonesia. Proklamasi sudah dikumandangkan, sementara penjajah ingin tetap menduduki Indonesia.
Salah satu dampaknya adalah pencetakan dan peredaran uang---sebagai bukti kedaulatan bangsa---menjadi terkendala. Karena dalam situasi darurat, pencetakan uang menggunakan kertas dan tinta seadanya.
Masa 1945-1949 menjadi masa kritis buat peredaran uang. Masa itu Pemerintah RI mengeluarkan uang kertas yang disebut ORI (Oeang Repoeblik Indonesia). Baru dua tahun merdeka, tentara Belanda kembali ingin menguasai Indonesia lewat Agresi Militer 1 dan 2 pada 1947-1949.
Pada 1947-1949 itu---karena transportasi diblokade tentara Belanda---pemerintah pusat menginstruksikan kepada daerah-daerah di Jawa dan Sumatera untuk mengeluarkan uang darurat. Uang-uang itu dikenal sebagai ORIDA (ORI Daerah) atau uang revolusi fisik.
ORI dan ORIDA terbuat dari bahan kertas sederhana, seperti kertas singkong, kertas koran, dan kertas tulis. Â Bahkan ada jenis ORIDA yang distensil dan ditik manual. Karena diproduksi dengan buruk, ORI dan ORIDA sangat tidak menarik sebagai bahan koleksi.Â
"Kualitas kertas jelek, begitu pun pencetakan, gambar, dan desain. Bahkan tidak adanya keseragaman kualitas, warna, dan finishing dalam satu seri yang sama," begitu kata Rob Huisman, seorang kolektor uang Indonesia dari Belanda.
Dalam masa konfrontasi fisik, apa saja dilakukan pihak lawan. ORI dan ORIDA ternyata banyak dipalsukan. Tujuan pemalsuan untuk merongrong kewibawaan pemerintah yang sah.
Katakanlah sebagai perang urat syaraf. Banyak numismatis pada masa sekarang menemukan banyak uang palsu. Mereka menyebut uang palsu ini sebagai old fake atau palsu lama.
Kebalikan dari old fake adalah new fake atau palsu baru. Uang new fake dibuat pada masa sekarang untuk kepentingan ekonomi atau mencari keuntungan peribadi. Numismatis profesional pasti tahu mana uang asli, uang old fake, dan uang new fake.
Menyadari pemalsuan adalah ancaman serius bagi kepercayaan terhadap ORI dan ORIDA, maka otoritas keuangan mencari solusi untuk melawannya. Salah satunya adalah menerapkan kode rahasia untuk mengidentifikasi sehingga petugas bisa mengenali uang palsu dengan mudah.
Adi Pratomo, seorang numismatis dari Surabaya, bertahun-tahun meneliti pola ORI dan ORIDA. Tentu saja berdasarkan pengenalan variasi seperti huruf dan nomor seri. Juga dengan kalimat pada beberapa ORI. Hasil penelitian Adi, disempurnakan oleh Rob Huisman.
Pada 1980-an saya membeli uang Rp 400 ini dalam kegiatan PPKMU (Perhimpunan Penggemar Koleksi Mata Uang). Besarnya nominal termasuk tidak biasa. Uang ini bergambar Sukarno dan ditandatangani oleh Moh. Hatta. Ketika itu belum ada buku katalog.
Barulah dari buku Katalog Uang Kertas Indonesia 1872-1996 (KUKI) saya tahu bahwa koleksi saya itu palsu atau old fake. Menurut buku tersebut ada tiga variasi nomor seri uang Rp 400, yakni coklat, hijau muda, dan biasa/normal. Nomor seri coklat termasuk old fake.
Meskipun palsu, koleksi tersebut tetap bermanfaat dan memiliki nilai jual. Koleksi itu menjadi acuan untuk perbandingan dan bahan pembelajaran terhadap koleksi asli.
Beruntung, kita sekarang memiliki sejumlah numismatis yang meneliti dan mengedukasi, seperti Uno, Suwito, Wisnu, dan banyak lagi. Dunia numismatik Indonesia sudah lebih maju.
Yah memang harus dari kita sendiri yang begitu. Kalau tidak, kita akan ketinggalan dari bangsa asing. Sekadar gambaran, kolektor ORI dan ORIDA terbanyak antara lain berasal dari Belanda dan Denmark.
Memang sampai sekarang ada beberapa ORIDA belum ditemukan. Semoga nanti kita masih bisa melihat ORIDA yang berbentuk sederhana lewat museum.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H