Sejak era digital tumbuh subur, berbagai berita atau informasi muncul sangat cepat. Detik ini ditulis, beberapa menit kemudian sudah bisa dibaca masyarakat. Kecepatan yang luar biasa dibandingkan media konvensional yang butuh waktu sehari untuk penulisan, penyuntingan, pembuatan tata letak, pencetakan, dan pendistribusian.
Namun kemunculan yang cepat tidak diimbangi dengan penyuntingan yang akurat. Judul sering kali bombastis. Bahkan banyak judul tidak sesuai isi. Memang dimaklumi karena masyarakat awam juga sering menulis dan posting tulisan di blog atau media sosial. Bahkan membuat video 'spektakuler'.
Disayangkan, jurnalis dan masyarakat awam hanya mengejar 'klik' atau monetisasi. Yang penting banyak dibaca atau ditonton orang. Dengan begitu isi rekening akan bertambah.Â
Masyarakat kita pun kurang kritis. Kebanyakan dari mereka hanya membaca judul sehingga sering terpedaya. Akibatnya tulisan waras dan video waras kalah bersaing dengan tulisan/video abal-abal. Terus terang, memberi pemahaman kepada masyarakat awam sangat susah karena mereka sering ngeyel.
Banyak topik saya lihat ditulis dengan 'fantastis'. Bidang arkeologi salah satunya. Namun kali ini saya akan membahas tentang 'berita heboh' pada bidang numismatik atau koleksi uang lama/kuno.
Soal koin Rp 1.000 yang dikenal sebagai koin sawit pernah heboh gara-gara banyak ditawarkan di marketplace dengan harga jutaan. Para jurnalis pun ikut-ikutan membuat berita dengan mewawancarai berbagai pihak, seperti otoritas Bank Indonesia dan numismatis. Intinya kata beberapa numismatis, "dijual" berbeda sekali dengan "terjual".
Ternyata, koin yang ditawarkan dengan harga selangit itu tidak laku. Banyak masyarakat awam sudah cerdas karena harga waras koin sawit hanya Rp 2.000 hingga Rp 10.000 sekeping, tergantung kondisi koin itu, apakah bagus sekali, bagus, cukup bagus, atau kurang bagus. Semakin bagus tentu semakin mahal.
Sayang masyarakat awam tidak membaca tanggapan tersebut. Sampai kini masih banyak saja postingan penawaran dengan harga tinggi di marketplace, termasuk di media sosial seperti Facebook yang memiliki beberapa grup jual beli. Lihat tulisan saya [di sini].
Selain koin sawit, banyak masyarakat awam juga menawarkan uang kertas emisi 1992 dengan harga tinggi. Uang kertas itu bernominal Rp 100 bergambar perahu phinisi dan nominal Rp 500 bergambar orang utan. Â
Kemungkinan besar, mereka terpengaruh oleh judul sebuah media. Di kalangan numismatis atau pedagang, selembar uang kertas Rp 100 dan Rp 500 dibanderol Rp 2.000-Rp 10.000 untuk kondisi Uncirculated (Unc).Â
Uang kertas dengan kondisi Unc belum pernah dipakai bertransaksi, identik dengan istilah mint dalam filateli. Gepokan uang kertas yang masih berlabel Bank Indonesia, termasuk kondisi Unc. Saya pernah menulis tentang uang kertas Rp 100 [di sini].
Di bawah kondisi Unc ada XF (Extra Fine), VF (Very Fine), F (Fine), dsb. Nah, kondisi seperti inilah yang tidak dipahami masyarakat awam. Umumnya yang mereka posting koleksi dalam kondisi ada tanda lipatan, kotor, sobek, berselotip, dan ada coretan tinta.
Seandainya koin 1000, uang kertas 100, dan uang kertas 500 berharga jutaan sekeping/selembar, tentu saya akan menjadi jutawan nih. Saya punya koleksi koin sawit emisi 1993, 1994, 1995, 1996, 1997, dan 2000. Juga koleksi uang kertas Rp 100 dan Rp 500 dalam emisi lengkap 1992 sampai 1999. Bahkan masih punya koleksi berlebih dalam kondisi kinclong. Mungkin saya akan gagal jadi jutawan karena banyak orang sudah waras.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H