Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hanya Orang Bodoh Mau Meminjamkan Buku, Hanya Orang Gila Mau Mengembalikan Buku

18 Agustus 2020   07:16 Diperbarui: 18 Agustus 2020   07:10 2120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ternyata buku yang di tengah berukuran lebih kecil dan hasil fotokopi (Dokpri)

Orang "bijak" berkali-kali mengatakan, "Hanya orang bodoh mau meminjamkan buku dan hanya orang gila mau mengembalikan buku". Meskipun bersifat guyon, namun maknanya "dalam sekali". Saya punya pengalaman seperti itu sejak lama.

Buku-buku yang saya pinjamkan, banyak yang tidak kembali. Akibatnya ketika mau dipakai, saya kebingungan sendiri. Paling-paling kemudian saya mengunjungi perpustakaan yang terbuka untuk umum. Kalaupun terpaksa, saya pinjam ke teman. Untuk ini pasti saya kembalikan.

Sudah bertahun-tahun buku-buku saya masih "menginap" di rumah peminjam. "Masih dipakai. Pelit ama sih cuma pinjam sebentar," begitulah alasan mereka ketika ditagih. Seperti halnya pada uang, ternyata peminjam lebih galak daripada yang meminjamkan.

Terpaksa saya mengalah deh. Kebetulan di Facebook saya berkawan dengan beberapa pedagang buku bekas. Terkadang kalau kebetulan di-posting, saya beli lewat toko daring.

Buku Sejarah Nasional Indonesia, jilid 6 yang kecoklatan (Dokpri)
Buku Sejarah Nasional Indonesia, jilid 6 yang kecoklatan (Dokpri)
Buku Sejarah Nasional Indonesia jilid 6, sudah bertahun-tahun dipinjam. Karena tidak ada tanda-tanda kembali, saya beli di Facebook. Lumayan keluar uang Rp 75.000. Cuma bedanya, kalau jilid 1-5 berwarna putih, jilid 6 berwarna kecoklatan. Maklum, ini edisi pemutakhiran. Tak apalah belang sedikit.

Ada juga buku Indonesia Dalam Arus Sejarah. Sebenarnya buku ini terdiri atas 9 jilid. Namun yang berkenaan dengan arkeologi jilid 1-3. Saya dikasih oleh teman di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sayang, jilid 2 tentang Kerajaan Hindu-Buddha dipinjam dan tak kembali lagi. 

Belum lama ini saya lihat ada di toko daring. Saya beli Rp 65.000 dari Yogyakarta. Sampul sesuai dengan buku-buku yang saya miliki. Ternyata setelah datang, bentuk buku lebih kecil sehingga ringan. Ternyata buku fotokopian dengan huruf diperkecil.

Saya yakin ini buku 'bajakan'. Soalnya saya pernah omong-omong dengan teman di Kemendikbud, ingin mencetak kembali dengan izin dari Penerbit Ichtiar Baru Van Hoeve. Namun keberadaan penerbit itu belum terlacak.

Memang menyesal sekali meminjamkan buku. Sudah berbuat kebaikan, malah kita rugi sendiri. Bayangkan, saya harus keluar lagi untuk membeli buku ganti. Sampai saat ini masih banyak buku saya di luar. Semoga bisa kembali.

Sebagian koleksi buku pribadi (Dokpri)
Sebagian koleksi buku pribadi (Dokpri)
Palugada

Banyak orang heran saya banyak buku, padahal saya tidak punya kantor. Entah berapa banyak jumlah buku saya. Yang jelas, ada di empat lemari buku jati, empat rak buku metal, dan belasan rak buku kayu lapis. Belum lagi di kontener. Saat ini buku-buku itu menempati empat ruangan di rumah.

Sebenarnya bisa menempati dua ruangan. Namun ruangan-ruangan tersebut harus diperbaiki terlebih dulu.  Maklum suka bocor kalau hujan.

Buku-buku saya tidak cuma bergenre sepurmudaya (sejarah, purbakala, museum, budaya). Buku-buku topik lain pun saya ada, seperti arsitektur, astronomi, palmistri, feng shui, dan geologi. Pokoknya palugada...apa lu mau gua ada, hehehe...

Karena banyak buku, maka sering menulis di Kompasiana dan juga mengelola blog pribadi tentang arkeologi dan museum. Saya tidak bisa berbagi materi, hanya tulisan. Bahkan, kembali kata orang bijak, "Kalau uang sering dipakai bisa habis, sebaliknya kalau buku sering dipakai, orang makin bertambah ilmu".

Karena sering menulis pula saya sering diguyoni oleh teman-teman eks Fakultas Sastra UI Rawamangun sebagai "Arkeolog Paling Miris" yang pantas mendapat Awards. Soalnya saya tidak pernah bekerja di instansi arkeologi atau museum, sebaliknya aktif membumikan arkeologi dan museum sejak 1980-an.

Lalu Pak Mundardjito, pensiunan Guru Besar Arkeologi UI, menganggap saya "Arkeolog dengan Takdir Sial". Soalnya saya membumikan arkeologi dan museum bukan karena proyek atau penugasan, tapi belum pernah mendapat penghargaan dari pemerintah. Termasuk juga membuat gerakan literasi berupa Kubu (Kuis Buku) dan Gemar (Gerakan Menulis Arkeologi) dengan dana pribadi.

Memang saya tidak ada gaji, tidak ada pensiun, dan tidak ada bantuan BLT atau Bansos. Sejak Maret lalu saya ODP (Ora Duwe Pemasukan). Tapi sebagai lansia saya sehat dan bahagia di masa pandemi Covid ini.

Sampai pagi ini saya menghasilkan 686 tulisan yang mencerdaskan. Belum termasuk tulisan ini.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun