Karena sering menulis artikel di koran dan majalah, tentu saja nama saya dikenal. Apalagi saya sudah menulis sejak 1980-an. Dampak positif dari itu, saya pernah diminta bantuan jadi tim penulis buku. Saya yakin saja, meskipun saya tahu gaya bahasa koran beda dengan gaya bahasa buku.
Ternyata kepercayaan itu terus berlanjut. Bahkan beberapa instansi pun sesekali meminta saya menjadi anggota tim penulis buku.
Saya mulai menjadi anggota tim penulis buku pada 2011. Yang meminta adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Buku itu berjudul Sejarah Permuseuman di Indonesia. Ada sembilan  orang terlibat dalam penulisan buku itu.
Berikutnya saya terlibat dalam buku Museum Tematik di Indonesia (2013). Buku itu juga diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ada empat penulis ikut mendukung buku tersebut. Â
Pada 2015 saya pernah menjadi anggota tim penulis buku bertopik Transportasi dan Sungai Ciliwung. Kedua buku itu diterbitkan oleh Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi DKI Jakarta. Bukan hanya menulis, saya pun merangkap jadi penyunting bahasa.
Suatu hari saya dihubungi seorang rekan. Seorang temannya ingin mengikuti lelang penulisan buku yang diselenggarakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Saya sih oke-oke saja. Maklum saya belum pernah mengikuti kegiatan seperti itu.
Ternyata kami menang lelang. Daya tariknya adalah nama saya itu. Sayang, sampai kini saya belum mendapat buku tersebut.
Ada lagi pengalaman lain dalam penulisan buku. Saya dan generasi milenial dari Kelompok Pemerhati Budaya dan Museum Indonesia (KPBMI) pernah diminta menulis buku oleh Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman pada 2018. Saya dan teman saya, Berty Sinaulan, bagian penulisan. Anggota komunitas lain bertugas menata letak dan melengkapi buku dengan foto.
Entah buku apa lagi yang pernah saya tulis. Terus terang saya lupa. Semoga suatu saat saya bisa menulis sendirian.
Beruntung saya bisa menulis. Â Pertama, menulis populer dengan bahasa koran atau bahasa baku. Kemudian menulis ilmiah populer dengan bahasa baku. Dan seperti saat ini, menulis populer dengan bahasa gaul atau bahasa sehari-hari.
Menulis menjadi 'harta karun' saya. Harganya sangat mahal karena belum tentu setiap orang mampu menulis. Bukan sembarang menulis tetapi menulis sebagai seni merangkai kalimat sehingga enak dibaca dan mudah dimengerti oleh masyarakat.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H