Setelah mengumpulkan donasi dari sana-sini, akhirnya teman-teman lintas komunitas di Jawa Timur berhasil 'mempersolek' Prasasti Besole. Kini jalan masuk untuk mengunjungi Prasasti Besole telah diberi paving (pelapisan jalan tanah dengan bata beton). Prasasti yang tadinya kehujanan dan kepanasan, kini dilindungi dengan cungkup dan pagar besi.
Proses menangani lingkungan Prasasti Besole berlangsung selama tiga hari, yakni 8-10 Agustus 2020. Mas Doni dari Tapak Jejak Kadiri sebagai koordinator rela berjalan jauh dari Kediri ke Blitar dengan lama perjalanan sekitar satu jam. Maklum, Prasasti Besole terletak di Dusun Besole, Desa Darungan, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar.
Nah, inilah 'penyakit' dari pemerintah, baik pusat maupun daerah, sejak lama. Perhatian terhadap cagar budaya atau tinggalan purbakala sangat minim. Sampai sekarang masih banyak cagar budaya dibiarkan terlantar tanpa perawatan.
Memang dimaklumi, lokasinya jauh dari kantor. Bahkan ada yang berada di pelosok. Kita beruntung, kalau masyarakat atau komunitas sekitar peduli. Kalau mereka tidak peduli, mungkin banyak cagar budaya telah dicolong orang-orang tidak bertanggung jawab.
Dulu Prasasti Besole disebut Prasasti 'Kandang Ayam'. Ini karena olok-olok saja. Maklum prasasti itu terletak dekat kandang ayam milik salah satu warga. Dua kali saya pernah menulis tentang prasasti ini [yang ini] dan [yang itu].
Prasasti Besole terletak di lahan milik seorang petani, Dasir namanya. Â "Sebelum saya lahir, batu prasasti ini sudah ada disini. Dan kali pertama ditemukan hingga sekarang, lokasi batu masih disini alias tidak pernah berpindah," ungkap Dasir, sebagaimana bisa dilihat [di sini].
Saat ini  kondisi prasasti juga semakin memprihatinkan. Bahkan, tulisan Jawa Kuno yang ada di batu tersebut telah aus/hilang.
Menurut Dasir kepada www.adakitanews.com, dulu batu prasasti tersebut berada di depan rumah orang tuanya. Namun karena saudaranya banyak, akhirnya orang tuanya membagi lahan yang ada untuk dibangun rumah bagi anak-anaknya.
Kini batu prasasti itu posisinya berada persis di pekarangan rumahnya. Â Pernah beberapa kali ada yang datang berjanji memberikan bantuan, namun tidak pernah terealisasikan. Â
Harus diakui sampai kini banyak tinggalan arkeologi masih berada di pekarangan warga, tengah sawah, perbukitan, dan tempat-tempat di alam terbuka. Bahkan banyak tinggalan masih terpendam dalam tanah.
Dalam arkeologi sendiri ada subdisiplin yang disebut Arkeologi Publik. Dasarnya adalah masa lampau milik semua orang, maka masyarakat atau publik harus terlibat. Tentu terlibat dalam arti positif, seperti merawat atau melestarikan.
Saat ini upaya pemerintah terbesar baru tampak di bidang penelitian dan pemugaran, meskipun banyak hasilnya belum tersebar ke masyarakat. Masyarakat harus mengetahui karena semua dana berasal dari pajak rakyat alias dari APBN dan APBD. Â
Kelemahan pemerintah tampak dari upaya pelestarian di tempat terbuka, seperti halnya Prasasti Besole itu. Kelemahan lain dalam hal menyediakan publikasi untuk masyarakat. Berkali-kali website atau laman instansi arkeologi mati. Kalaupun ada jarang sekali melakukan pembaruan.
Yang justru dikenal masyarakat adalah blog pribadi saya. Blog arkeologi ini [hurahura] saya buat pada 2008. Setiap hari diakses 1000-2000 orang. Blog ini dibuat tanpa dukungan dari pemerintah.
Selain itu, sejak 2011 saya pun membuat gerakan literasi untuk masyarakat dalam bentuk Kubu (Kuis Buku) dan Gemar (Gerakan Menulis Arkeologi). Buku-buku tersebut saya peroleh gratis dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan instansi pemerintah lain. Semua dengan dana pribadi saya, baik untuk transportasi ambil buku maupun ongkos kirim ke daerah.
Sayang sejak Mei lalu gerakan literasi terhenti karena pandemi Covid. Maklum saya ODP (Ora Duwe Pemasukan). Sebagai Arkeolog Mandiri yang bekerja serabutan terasa sekali kena dampak Covid. Â Â
Sekali lagi, memberdayakan masyarakat yang peduli cagar budaya sangat penting. Seperti halnya kepedulian terhadap Prasasti Besole tadi. Mereka hanya melakukan sedikit wacana, lalu aksi nyata. Apresiasi yang tinggi dari saya untuk teman-teman komunitas. Tetap lestarikan arkeologi, meskipun teman-teman tidak berpendidikan arkeologi.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H