Era 1990-an menjadi 'masa keemasan' buat saya untuk menekuni dunia tulis-menulis di media cetak. Banyak media cetak sudah saya rasakan. Merdeka, Warta Mahasiswa, Pelita, Berita Buana, Bisnis Indonesia, Indonesia, Suara Karya, Media Indonesia, Mutiara, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Warta Kota, Kompas, dan Koran Tempo sering menampung tulisan-tulisan saya. Di koran daerah saya pernah menulis di Bandung Pos. Lalu ada lagi majalah: Amanah, Intisari, dan Reader's Digest Indonesia. Begitulah, media-media cetak yang saya ingat.
Bertahun-tahun saya mampu hidup dari menulis. Meskipun dapat honorariumnya recehan, tapi lumayanlah kalau sering dimuat di sejumlah media cetak. Nama pun populer. Orang sangat mengenal saya sebagai arkeolog karena saya sering menulis tentang arkeologi dan museum. Bahkan saya dianggap pakar uang kuno karena sering menulis numismatik. Saya mulai menulis sejak 1980-an.
Ketika awal-awal menulis di media cetak, honorarium yang saya terima Rp 10.000---Rp 20.000 per tulisan. Cukup besar untuk ukuran waktu itu dibandingkan biaya kuliah Rp 15.000 per semester. Lewat honor itulah saya mampu beli buku dan masih terpelihara hingga sekarang. Saya lupa berapa besar honorarium di media cetak pada masa kemudian.
Namun dari beberapa struk yang saya simpan, pada 1996 honorarium di Suara Pembaruan Rp 200.000. Lengkapnya Rp 222.222, potong pajak 5% = Rp 22.222. Pada 1998 honorarium masih Rp 200.000. Seingat saya sekitar 2010, honor menjadi Rp 600.000. Dari Intisari saya pernah dapat transfer Rp 700.000.
Dulu honorarium kita ambil sendiri. Redaksi Mutiara dan Sinar Harapan saya ingat ada di Jalan Dewi Sartika 136-D, Cawang, Jakarta Timur. Redaksi Bisnis Indonesia semula di Jalan Kramat 5, lalu pindah ke Jalan S. Parman. Redaksi Pelita ada di dekat Patung Dirgantara atau Tugu Pancoran. Redaksi Suara Karya di daerah Mampang.
Honor dari Kompas dulu dikirim lewat pos wesel. Pada 2007 saya masih mendapat pos wesel. Nah, setelah itu honorarium dikirim lewat transfer bank. Media-media lain pun begitu. Pokoknya kita cukup mengirimkan nama bank dan nomor rekening kita. Transfer akan kita terima sekitar dua minggu setelah tulisan kita dimuat.
Pada 2010 sampai 2013 saya pernah dapat kapling dari koran Warta Kota untuk mengisi rubrik Kota Toea. Banyak kliping tulisan masih saya simpan.
Honorarium dari media-media Jakarta lumayan besar. Saya pernah dapat dari Koran Tempo sebesar Rp 800.000. Lalu dari Kompas Rp 1.000.000.
Sayang, mulai 2010-an 'keperkasaan' media-media cetak konvensional mulai tergerus oleh keberadaan media daring. Pembaca media-media tradisional semakin berkurang karena generasi muda lebih senang membaca lewat gawai. Hanya generasi kolonial yang enggan beralih ke 'dunia baru'. Dengan hadirnya telepon pintar memang dunia berada dalam genggaman. Segala informasi begitu cepat. Tidak seperti media cetak, yang harus disunting, disusun tata letak, dicetak, lalu didistribusikan. Perlu proses lama.
Meskipun banyak media daring, namun yang cukup besar baru sedikit. Beberapa di antaranya memang menerima tulisan dari masyarakat dengan berhonorarium. Sayang, dampak pandemi Covid demikian hebat sehingga kegiatan perekonomian tergerus. Kue iklan pun mengecil, sehingga honorarium semakin berkurang.
Begitulah, kenangan masa lalu. Saya bisa hidup dari honorarium menulis di media cetak. Kita harapkan wabah akan segera berakhir sehingga aktivitas tulis-menulis bisa dilakoni warga masyarakat.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H