Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merawat Buku Kuno Sam Kok Terbitan 1910

7 Agustus 2020   12:38 Diperbarui: 7 Agustus 2020   12:46 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sampul depan buku Sam Kok, terlihat angka tahun 1910 (Dokpri)

Masih urusan beberes gudang, dalam salah satu kontener saya menemukan buku-buku lama peninggalan almarhum kakek saya. Saya tertarik pada buku-buku yang berukuran tebal. Saya buka halaman pertama, tertulis Sam Kok. Lebih khusus ditambah kata-kata "atawa peprangan antara tiga negri".

Dalam dunia literasi nama Sam Kok memang cukup populer. Kalau tidak salah, sebuah penerbit swasta Indonesia pernah menerbitkan serial Sam Kok dalam sekian jilid.

Saya periksa kembali buku Sam Kok tadi. Tertulis pada halaman depan "satoe tjerita jang betoel soeda kedjadian di Tiongkok, pada djaman dahoeloe kala, jaitoe tempo abad ka II, dari itoengan tahon Mesihie 175 sampe tahon 269".

Selanjutnya disebutkan, "Tersalin ka dalam bahasa Melajoe rendah jang banjak terpake, dari boekoe tjerita bahasa Tionghoa, tjitakan jang paling baroe".

Buku Sam Kok itu dikarang oleh Tjie Tjin Koeij dari Soekaboemi. Pada bagian bawah tertulis "Tertjitak dan diterbitken oleh kantoor tjitak Tjiong Koen Bie & Co, Pintoe-Besar, Batavia, 1910". Tiap buku memiliki tebal sekitar 1.200 halaman. Bayangkan berapa lama kita memerlukan waktu untuk membaca. Buku keempat dicetak 1912.

Empat jilid buku Sam Kok, setiap jilid tebalnya sekitar 1,200 halaman (dokpri)
Empat jilid buku Sam Kok, setiap jilid tebalnya sekitar 1,200 halaman (dokpri)
Dunia sastra Indonesia berawal pada 1920 ketika Balai Pustaka menerbitkan roman Azab dan Sengsara karya Merari Siregar. Ternyata 10 tahun sebelumnya, Sam Kok telah beredar. Saya baca di DI SINI.

Kesusastraan Melayu Rendah muncul pada 1875 lewat roman Lawah-Lawah Merah. Istilah Melayu Rendah identik dengan Melayu Pasar atau Melayu Kerja, untuk membedakan dengan Melayu Sekolah yang digunakan secara formal.

Sebelumnya pada 1870 diterbitkan saduran-saduran cerita Tionghoa atau roman-roman Eropa. Penulis Tionghoa sangat berperan pada masa itu untuk menggerakkan dunia literasi. Buku Sam Kok menjadi kebangkitan sastra Tionghoa.

Sam Kok merupakan roman sejarah dari zaman Dinasti Han dan Tiga Negara. Kata Sam Kok berasal dari dialek Hokkian sanguo, tiga negara. Inti cerita tentang ketiga pemimpin yang bertikai, yakni Cao Cao (Negeri Wei), Liu Bei (Negeri Shu), dan Sun Quan (Negeri Wu). Masing-masing mengangkat diri sebagai kaisar, pewaris Dinasti Han yang telah runtuh.

Menurut Wikipedia, roman Sam Kok ditulis oleh Luo Guanzhong, seorang sastrawan dinasti Ming.   Selain dari sejarah resmi, Luo juga mengambil referensi dari cerita rakyat turun-temurun yang dituturkan secara lisan di masyarakat pada masa hidupnya.

Kepopuleran Sam Kok sebagai sastra klasik Tiongkok banyak diakui pengamat sastra. Sampai sejauh ini Sam Kok sudah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Di Indonesia, terjemahan Sam Kok hanya mengambil poin-poin tertentu sehingga ketebalan buku menjadi berkurang.  

Kisah pada Sam Kok seputar masalah kekuasaan, korupsi, dan pemberontakan. Diperkirakan komposisi Sam Kok 70% berdasarkan fakta sejarah dan sisanya murni fiksi.  

Buku Sam Kok tertua cetakan 1910 (Dokpri)
Buku Sam Kok tertua cetakan 1910 (Dokpri)
Terus terang membaca buku ini perlu pemahaman agak lama. Namun kali ini saya berfokus pada membersihkan halaman demi halaman dengan kuas. Maklum, buku Sam Kok ini sudah berusia lebih dari satu abad. Kertasnya masih lumayan. Huruf-hurufnya masih terbaca. Hanya pada beberapa bagian terlihat kena rayap. Merawat buku-buku lama lumayan sulit.

Kali ini usia buku 110 tahun. Mungkin inilah buku tertua yang pernah terbit di Nusantara. Semoga masih bisa bertahan lama.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun