Pagi tadi saya bongkar-bongkar isi kontener di gudang. Semua isinya adalah barang-barang cetakan lama. Saya tertarik pada beberapa lembar kertas stensilan. Judulnya cukup mentereng, Mahasiswa Menggugat (MM).
Saya punya tiga edisi, yakni Juni 1980, September 1980, dan November 1980. Ternyata sudah 40 tahun. Apalagi tercetak dari kertas stensil yang kurang bagus. Tulisannya pun tebal tipis, bahkan banyak yang kurang nyata.
Buletin itu terdiri atas 8-10 halaman dengan cetak bolak-balik. Pada halaman depan tertulis, "Diterbitkan oleh Ikatan Keluarga Mahasiswa Universitas Indonesia (IKM UI)". Lalu "Alamat Redaksi: Student Center UI, Jalan Salemba 4, Jakarta Pusat". Rupanya MM hanya "terbit sesuai dengan kebutuhan".
Dulu saya dapat MM di kantor Senat Mahasiswa FSUI di Rawamangun. Gratis lagi.
Membaca isinya, nyata sekali merupakan protes keras kepada Orde Baru. Dalam rubrik Sorotan Kita antara lain dikatakan, "...Rejim Suharto itu munafik, kotor, ...".
Masih dalam rubrik yang sama dikatakan, "Belakangan ini kita merasakan Rejim Suharto tambah sewenang-wenang untuk menutupi kemunafikan dan kebusukannya". "Bahkan kini penguasa tidak segan-segan menutup mata pencarian para penandatangan Petisi 50. Misalnya pemerintah memblokir seluruh rekening bank Ali Sadikin dan Jenderal Nasution," demikian tulis MM pada bagian lain.
Pada MM edisi lain ada tulisan tentang A.M. Fatwa yang dilarang khotbah Idul Fitri. Lalu ada tulisan tentang "Insiden Berdarah di Kampus UI". Ketika itu Rektor UI adalah Prof. Mahar Mardjono.
Sorotan lain tentang "MPR, Laksanakanlah Sidang Istimewa". Intinya para mahasiswa tidak mempercayai kepemimpinan Presiden Suharto yang dianggap KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).
Sebenarnya suara mahasiswa di era 1980 tidaklah sekeras masa-masa sebelumnya. Sejak 1950-an UI sudah memiliki Dewan Mahasiswa yang dikenal Dema UI. Pada masing-masing fakultas dibentuk Senat Mahasiswa atau Sema. Sejak dulu memang Dema dan Sema memosisikan diri sebagai pengontrol pemerintah.
Gerakan mahasiswa yang paling menonjol saat Dema tentu saja demonstrasi pasca-G30S. Saat itu ada pula KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia). Gerakan itu berhasil menggerus kekuasaan Presiden Sukarno dan memuluskan lahirnya Orde Baru. Sejak itu gerakan mahasiswa identik dengan gerakan politik.
Sebagai pengontrol pemerintah, Orde Baru pun kena kritik mahasiswa. Apalagi sejak meletusnya Malari (Malapetaka 15 Januari 1974). Sebenarnya Malari adalah protes terhadap produk Jepang yang mendominasi Indonesia. Ketika PM Jepang Kakuei Tanaka datang ke Indonesia terjadilah demonstrasi besar-besaran di Jakarta. Hampir semua kendaraan buatan Jepang yang lewat dicorat-coret para mahasiswa.
Namun, banyak penyusup ikut berdemonstrasi. Dampaknya adalah pembakaran Proyek Senen sehingga terjadi penjarahan dan kekacauan di Jakarta. Sekolah saya sempat diliburkan selama beberapa hari.
Demonstrasi mahasiswa yang besar terjadi lagi pada 1977/1978. Ketika itu akan dilangsungkan Sidang Umum MPR/DPR. Soeharto kembali terpilih menjadi presiden. Gerakan mahasiswa terjadi di kampus-kampus seluruh Indonesia. Salah satu tuntutan mereka tentu saja adalah mundurnya Soeharto.
Akibatnya pada 1978 itu, Dewan Mahasiswa di seluruh Indonesia "dibekukan". Jadi "suara kritis mahasiswa" tidak ada lagi. Yang ada fungsi mahasiswa sebagai kaum intelektual dengan tradisi keilmuan. Â Kebijakan itu dikenal sebagai Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dengan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK).
Begitulah kisah dari tiga buletin stensilan ditambah hal yang saya ingat dan alami. Saat ini posisi Dema diganti BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa).***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI