Rabu, 29 Juli 2020, sore masuk sebuah pesan di grup WA Arkeologi UI. Isinya tentang mohon doa untuk Pak Ajip Rosidi yang sedang kritis di RS Tidar, Magelang. Putri Pak Ajip, Titi Surti Nastiti, memang alumnus Jurusan Arkeologi UI.
Subuh tadi, saya terbangun pukul 02.00. Saya buka WA, ada pesan dari Ibu Titi, "Bapa sudah meninggalkan kami. Tolong dimaafkan kesalahannya". Beliau meninggal sekitar pukul 23.00.
Saya tidak akrab dengan Pak Ajip. Justru jauh lebih akrab dengan adiknya, Pak Ayatrohaedi. Juga dengan putrinya, Mbak Titi. Maklum, Mang Ayat---begitu panggilan akrabnya---adalah dosen Arkeologi UI.
Lukisan
Saya pernah ke rumah Pak Ajip di daerah Pasar Minggu pada 1981. Ketika itu mahasiswa arkeologi bikin acara di sana. Rumah Pak Ajip cukup besar. Ternyata ia pencinta lukisan. Saya lihat banyak lukisan dengan objek kucing tergantung di dinding-dinding rumahnya.
Lukisan-lukisan itu karya Popo Iskandar. Kabarnya, kalau Popo tidak punya uang, maka ia akan menghubunugi Pak Ajip. Tentu saja seniman muda terbantu.
Pak Ajip pernah menjadi pimpinan penerbit Pustaka Jaya. Kantornya di Jalan Kramat Raya. Saya pernah beberapa kali membeli buku di toko Pustaka Jaya.
Tentu saja atas rekomendasi adiknya, Mang Ayat. Dengan demikian saya mendapat diskon cukup besar. Hasil kegiatan Diskusi Ilmiah Arkeologi pernah diterbitkan oleh Pustaka Jaya. Lagi-lagi atas bantuan Pak Ajip dan Mang Ayat.
Kiprah Pak Ajip bukan hanya penulis dan penerbit. Ia pernah berperan di Akademi Jakarta. Waktu itu kantornya di Taman Ismail Marzuki (TIM).
Saya ingat pada 2006, Pak Ridwan Saidi dkk pernah unjuk rasa di TIM. Pak Ridwan menuding Pak Ajip dan Akademi Jakarta menikmati anggaran Rp 800 juta. Namun kemudian Pak Ridwan meminta maaf karena berita tersebut tidak benar.
Pak Ajip (1938-2020) hanya berpendidikan SMA, itu pun tidak tamat. Jadi ia tidak punya ijazah SMA. Namun ia orang hebat. Saya sering membaca tulisan beliau di surat kabar. Sejak 1981 ia dipercaya menjadi dosen tamu di Jepang. Sekitar 20 tahun ia mengajar di sana.
Pada 1989 secara pribadi ia memberikan Hadiah Sastera Rancag kepada karya sastra Sunda terbaik. Dari sini ia mendirikan Yayasan Kebudayaan Rancage. Hadiah Rancage diberikan setiap tahun kepada insan yang berprestasi. Namun kemudian hadiah tersebut diperluas untuk Sastra Jawa dan Sastra Batak. Â
Pada 2011 Pak Ajip menerima gelar Doktor Honoris Causa (Doktor HC) bidang Ilmu Budaya dari Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran. Pemberian gelar ini sempat menjadi polemik. Soalnya, Doktor HC biasanya diberikan kepada mereka yang bergelar Sarjana.
Kita telah kehilangan Pak Ajip, padahal belum habis kesedihan kita atas kepergian Pak Sapardi Djoko Damono. Banyak kalangan mengenal Pak Ajip sebagai  sastrawan, penulis, budayawan, dosen, pendiri, dan redaktur beberapa penerbit, pendiri serta ketua Yayasan Kebudayaan Rancage.Â
Bahkan Pak Ajip pernah menjadi Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) dan Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Karya Pak Ajip banyak diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing, seperti bahasa Belanda, Cina, Inggris, Jepang, Perancis, Kroasia, dan Rusia.
Setelah pensiun ia menetap di sebuah desa di Magelang, Jawa Tengah, bersama istrinya Nani Wijaya. Meskipun begitu, ia masih aktif mengelola beberapa lembaga nonprofit seperti Yayasan Kebudayaan Rancag dan Pusat Studi Sunda.
Sebelum Pak Ajip, beberapa tokoh Kebudayaan dan Sastra Sunda telah tiada. Mereka antara lain Uka Tjandrasasmita, Ayatrohaedi, Saleh Danasasmita, dan Edi S. Ekadjati. Semoga masih ada generasi penerus yang memelihara sekaligus mengembangkan Kebudayaan dan Sastra Sunda.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H