Koleksi museum terbuat dari berbagai bahan. Yang termasuk kategori mampu bertahan lama adalah batu dan logam. Di bawah itu ada koleksi kayu. Di luar ketiga bahan itu, seperti kulit, kertas, dan kain tergolong kurang kuat.
Koleksi berbahan kain termasuk sensitif, apalagi yang berkategori kuno. Wastra, begitulah orang sekarang menyebut kain tradisional dari berbagai daerah. "Musuh" terbesar kain adalah cahaya dan serangga. Warna pada kain bisa pudar. Benang-benang pada kain bisa patah, bahkan sampai bolong. Begitulah kerusakan yang sering terjadi.
Penanganan koleksi kain milik individu tentu berbeda dengan koleksi museum. Tidak sembarang orang boleh menangani koleksi museum. Soalnya, ada pengetahuan khusus yang harus diterapkan untuk menangani koleksi bersejarah itu. Bidang konservasi menjadi ujung tombak dalam merawat koleksi museum.
Belajar secara daring merawat koleksi kain tentu diperlukan banyak pihak, terutama museum-museum di luar Jakarta. Untuk itulah pada Selasa, 28 Juli 2020, Museum Perumusan Naskah Proklamasi, menyelenggarakan acara tersebut. Tampil sebagai pembicara Ibu Ita Yulita dengan moderator Ibu Dian Novita Lestari. Keduanya adalah pakar konservasi dari Museum Nasional. Acara dibuka oleh Kepala Museum Perumusan Naskah Proklamasi Pak Agus Nugroho.
Menurut ibu Ita, konservator museum harus secara berkala melakukan identifikasi kondisi koleksi. Setelah itu petugas harus mencatat keadaan koleksi, misalnya warna kusam dan pudar, kain sudah rapuh, sobek karena terlipat, banyak benang terlepas, ada noda di bagian atas, dan ada lubang kecil di bagian pinggir.Â
Setelah itu petugas memberikan rekomendasi "perawatan tingkat dasar dan perawatan tingkat lanjut untuk pembersihan debu dan restorasi lubang yang sobek".
"Kalau terdeteksi kena serangga, dilakukan fumigasi. Kalau kena debu atau jamur, dilakukan pembersihan mekanik, basah, atau kimia tergantung besar kecilnya masalah," kata ibu Ita.
Yang membutuhkan banyak waktu dan ketelitian adalah pemulihan atau perbaikan. Menjahit kembali dan memberikan kain support pada bagian belakang kain, tentu menuntut ketelitian dan kehati-hatian.
Mencegah lebih baik daripada memperbaiki. Nah, hal itu selalu diperhatikan para konservator di Museum Nasional. Di setiap ruangan museum, hampir selalu ada silika gel atau zat penyerap uap air. Dipasang juga alat pengukur kelembaban, suhu, bahkan cahaya lampu. Khusus ruangan tekstil ada bentonit dan akar wangi.
Cahaya lampu, menurut ibu Ita, ikut mempengaruhi kondisi koleksi. Untuk itu ada aturan tertentu tentang kuat cahaya, yakni 30 luv. Koleksi kain dengan kondisi tertentu harus dilakukan freezing. Umur koleksi juga harus diperhatikan. Makin tua makin susah ditangani.
Sebagian besar peserta belajar daring berasal dari museum-museum daerah. Banyak pertanyaan tentang penanganan wastra, misalnya cara menggulung wastra, apakah kain boleh dicuci, apakah boleh selalu menggunakan zat kimia atau cara modern, konservasi tradisional dilakukan untuk kondisi seperti apa, cara menghilangkan noda jamur pada kain, cara perawatan kain dari kulit kayu, dan masih banyak lagi. Sayang waktu begitu terbatas sehingga hanya beberapa pertanyaan terjawab.
Terus terang, kiat mengatasi perapuhan koleksi belum banyak diketahui museum-museum daerah. Alat-alat pengatur suhu dan kelembaban pun belum punya karena anggaran mereka serba terbatas. Sepertinya memiliki museum hanya untuk mendapatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tanpa mempertimbangkan faktor perawatan. Semoga nantinya bidang perawatan atau konservasi di museum-museum daerah memperoleh perhatian dari para pengambil keputusan.*** Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H