Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merawat Koleksi Kain Kuno dengan Cara Tradisional dan Modern

28 Juli 2020   16:04 Diperbarui: 28 Juli 2020   15:53 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koleksi kain milik Museum Nasional yang sudah rapuh (Foto: Museum Nasional)

Koleksi museum terbuat dari berbagai bahan. Yang termasuk kategori mampu bertahan lama adalah batu dan logam. Di bawah itu ada koleksi kayu. Di luar ketiga bahan itu, seperti kulit, kertas, dan kain tergolong kurang kuat.

Koleksi berbahan kain termasuk sensitif, apalagi yang berkategori kuno. Wastra, begitulah orang sekarang menyebut kain tradisional dari berbagai daerah. "Musuh" terbesar kain adalah cahaya dan serangga. Warna pada kain bisa pudar. Benang-benang pada kain bisa patah, bahkan sampai bolong. Begitulah kerusakan yang sering terjadi.

Siklus konservasi koleksi (Foto: Museum Nasional)
Siklus konservasi koleksi (Foto: Museum Nasional)
Konservasi

Penanganan koleksi kain milik individu tentu berbeda dengan koleksi museum. Tidak sembarang orang boleh menangani koleksi museum. Soalnya, ada pengetahuan khusus yang harus diterapkan untuk menangani koleksi bersejarah itu. Bidang konservasi menjadi ujung tombak dalam merawat koleksi museum.

Belajar secara daring merawat koleksi kain tentu diperlukan banyak pihak, terutama museum-museum di luar Jakarta. Untuk itulah pada Selasa, 28 Juli 2020, Museum Perumusan Naskah Proklamasi, menyelenggarakan acara tersebut. Tampil sebagai pembicara Ibu Ita Yulita dengan moderator Ibu Dian Novita Lestari. Keduanya adalah pakar konservasi dari Museum Nasional. Acara dibuka oleh Kepala Museum Perumusan Naskah Proklamasi Pak Agus Nugroho.

Menangani koleksi kain (Foto: Museum Nasional)
Menangani koleksi kain (Foto: Museum Nasional)
Deteksi koleksi

Menurut ibu Ita, konservator museum harus secara berkala melakukan identifikasi kondisi koleksi. Setelah itu petugas harus mencatat keadaan koleksi, misalnya warna kusam dan pudar, kain sudah rapuh, sobek karena terlipat, banyak benang terlepas, ada noda di bagian atas, dan ada lubang kecil di bagian pinggir. 

Setelah itu petugas memberikan rekomendasi "perawatan tingkat dasar dan perawatan tingkat lanjut untuk pembersihan debu dan restorasi lubang yang sobek".

"Kalau terdeteksi kena serangga, dilakukan fumigasi. Kalau kena debu atau jamur, dilakukan pembersihan mekanik, basah, atau kimia tergantung besar kecilnya masalah," kata ibu Ita.

Yang membutuhkan banyak waktu dan ketelitian adalah pemulihan atau perbaikan. Menjahit kembali dan memberikan kain support pada bagian belakang kain, tentu menuntut ketelitian dan kehati-hatian.

Mencegah lebih baik daripada memperbaiki. Nah, hal itu selalu diperhatikan para konservator di Museum Nasional. Di setiap ruangan museum, hampir selalu ada silika gel atau zat penyerap uap air. Dipasang juga alat pengukur kelembaban, suhu, bahkan cahaya lampu. Khusus ruangan tekstil ada bentonit dan akar wangi.

Cahaya lampu, menurut ibu Ita, ikut mempengaruhi kondisi koleksi. Untuk itu ada aturan tertentu tentang kuat cahaya, yakni 30 luv. Koleksi kain dengan kondisi tertentu harus dilakukan freezing. Umur koleksi juga harus diperhatikan. Makin tua makin susah ditangani.

Menangani kain yang rapuh (Foto: Museum Nasional)
Menangani kain yang rapuh (Foto: Museum Nasional)
Kiat mengatasi

Sebagian besar peserta belajar daring berasal dari museum-museum daerah. Banyak pertanyaan tentang penanganan wastra, misalnya cara menggulung wastra, apakah kain boleh dicuci, apakah boleh selalu menggunakan zat kimia atau cara modern, konservasi tradisional dilakukan untuk kondisi seperti apa, cara menghilangkan noda jamur pada kain, cara perawatan kain dari kulit kayu, dan masih banyak lagi. Sayang waktu begitu terbatas sehingga hanya beberapa pertanyaan terjawab.

Terus terang, kiat mengatasi perapuhan koleksi belum banyak diketahui museum-museum daerah. Alat-alat pengatur suhu dan kelembaban pun belum punya karena anggaran mereka serba terbatas. Sepertinya memiliki museum hanya untuk mendapatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tanpa mempertimbangkan faktor perawatan. Semoga nantinya bidang perawatan atau konservasi di museum-museum daerah memperoleh perhatian dari para pengambil keputusan.***   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun