Webinar bertopik Jalur Rempah kembali diselenggarakan oleh Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan. Kali ini webinar bertopik "Jalur dan Jaringan: Rempah-rempah Menghangatkan Dunia". Kegiatan webinar dibuka oleh Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Pak Restu Gunawan.
Kali ini berbicara para sejarawan dari berbagai institusi, yakni Prof. Singgih Tri Sulistiyono (Undip), S. Margana, Ph. D (UGM), Prof. Asvi Warman Adam (LIPI), dan Prof. Susanto Zuhdi (UI). Sebagai moderator Dr. Gani Ahmad Jaelani, DEA (Unpad).
Pembicara pertama Prof. Singgih mengatakan rempah pernah menjadi penggerak sejarah dan bahkan mengubah peta dunia. Menurut beliau, dalam cara pandang masyarakat rempah bukan sebagai komoditi dagang, tetapi juga menjadi simbol tertentu dalam budaya. Bahkan rempah memiliki kekuatan magis, antara lain sebagai obat, pengawet, alat upacara keagamaan, sumber kekuatan, dan bumbu masak. Maka sering dikatakan rempah adalah buah dari surga. Kekuatan rempah menjadi terkenal ketika dipakai untuk mengawetkan mumi dari Mesir. Bayangkan berapa ribu tahun usia mumi itu. Ternyata Nusantara sudah lama dikenal penjelajah mancanegara.
Rempah dikenal di berbagai negara seperti India, Mesir, Tiongkok, Romawi, dan Yunani. Di antara sekian banyak jenis rempah, dipercaya lada berasal dari India. Lambat laun rempah semakin mahal sehingga merupakan simbol prestise, eksklusivitas, dan kemewahan. Pak Singgih mengutip pernyataan "lada merupakan simpanan orang-orang kaya".
Karena semakin mahal, menurut Pak Singgih, timbul peluang ekonomi. Banyak bangsa Eropa datang ke Nusantara, yang akhirnya menimbulkan kolonialisme dan imperialisme. Rempah Nusantara sendiri mulai diperdagangkan belasan abad yang lampau. Ketika itu para penjelajah Nusantara berhasil mencapai Maladewa, Madagaskar, dan Pantai Timur Afrika. Komoditi dagang yang mereka bawa permata berhias, tembikar, produk logam (tembaga, besi, emas), dan berbagai rempah (terutama kayumanis).
Menurut Pak Margana, upaya membangkitkan kembali 'Jalur Rempah' dalam wacana ekonomi dan sejarah tampaknya masih dipengaruhi oleh perspektif Barat dari abad ke-16---18. Hal ini tampak dari penggunaan konsep "Jalur" ketimbang "Jaringan" atau "Zona".
"Cara pandang atau perspektif seperti ini akan menghasilkan gambaran tentang apa yang disebut eksploitasi satu jalur dan lalu lintas komoditi rempah dari Barat, oleh Barat, menuju Barat," kata Pak Margana.
Pak Asvi memandang wacana tentang Jalur Rempah atas tiga bagian, yakni diskursus politik seperti Jalur Sutera oleh Tiongkok, program warisan dunia oleh UNESCO, dan penulisan/pengajaran sejarah. Menurut Pak Asvi, Jalur Sutera ditetapkan sebagai Warisan Dunia pada 2014, mencakup tiga negara (Tiongkok, Kazakhstan, dan Kirgistan).
Menurut Pak Susanto, untuk melaksanakan program UNESCO 1988-1997, Indonesia turut memprakarsai dan menyelenggarakan seminar "Kota Bandar Jalur Sutra". Pak Susanto mencontohkan "Kota Bandar Cirebon". Katanya, Cirebon merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antarbangsa, dari peninggalan purbakala, kesenian maupun warisan non-fisik merupakan bukti tentang masuknya aneka ragam kebudayaan dari berbagai penjuru dunia: Arab, India, Cina, dan Eropa.
Pak Susanto mengemukakan pula masalah jalur rempah sudah dibicarakan pada 2017. Pada 2020 ini mulai dibentuk Tim Ahli/Narasumber. Diharapkan pada 2024 usulan tentang jalur rempah, atau apa pun namanya, bisa diajukan ke UNESCO.
Ada beberapa pendapat dalam webinar itu. Ada yang mengusulkan Ternate sebagai titik 0. Ada lagi dibatasi sampai Malaka.
Menutup acara, menurut Pak Restu, acara webinar akan diselenggarakan setiap Jumat siang. Saat ini sudah memasuki seri ke-5. Semoga ada hasil yang menggembirakan.*** Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H