Buat sebagian besar orang, menulis menjadi 'hal yang menakutkan'. Saya ingat bagaimana teman-teman saya bilang tulisannya jelek, susah mikir, tidak ada waktu, dan berbagai alasan lain. Bayangkan, kalau akademisi atau intelektual tidak bisa menulis, dunia ilmu pengetahuan terasa sepi.
Tulisan sendiri secara umum terbagi dua, yakni tulisan ilmiah dan tulisan populer. Tulisan ilmiah ranahnya para peneliti, dosen, dan kaum intelektual lain.
Membuat tulisan ilmiah cukup lama karena didahului riset lapangan dan riset pustaka. Isinya panjang dan kadang penuh dengan istilah teknis dan istilah bahasa asing. Juga dilengkapi dengan alasan penulisan, metode penelitian, dan kesimpulan. Golongan pembaca tulisan ilmiah sangat terbatas.
Majalah atau jurnal ilmiah tentang kedokteran, misalnya, paling-paling dibaca oleh dokter, tenaga kesehatan lain, dan para mahasiswa dari bidang sejenis. Majalah ilmiah tentang dunia hukum kemungkinan  hanya dimengerti oleh kalangan pengacara, penegak hukum, juga para mahasiswa sejenis. Masyarakat umum lain pasti kurang tertarik dengan bacaan-bacaan demikian.
Tulisan yang lebih ringan disebut tulisan populer. Biasanya bahasa pada tulisan populer mudah dicerna masyarakat umum, meskipun isinya tetap mengandung kadar ilmiah. Di antara tulisan ilmiah dan tulisan populer ada tulisan semi ilmiah dan ilmiah populer.
Sesuai namanya, tulisan populer menggunakan bahasa populer. Tulisan yang benar-benar populer ada pada media cetak. Koran atau majalah selalu menggunakan bahasa populer karena media tersebut ditujukan untuk kalangan umum.
Selain oleh wartawan atau redaksi, media cetak umum boleh diisi oleh kalangan luar, seperti dosen, peneliti, pengamat, atau pakar. Tentu saja menggunakan bahasa populer atau lebih dikenal dengan bahasa koran.
Majalah ilmiah, jurnal, koran, dan majalah tentu saja menggunakan bahasa formal atau bahasa baku. Untuk menulis di media-media tersebut, kita harus 'berhadapan' dengan dewan redaksi dan semacamnya. Kalau tulisan dianggap layak diketahui umum, barulah tulisan kita naik cetak.
Teknologi terus berkembang. Kebutuhan pun ikut berubah. Tadinya orang menikmati bacaan cetak, namun seiring kemajuan teknologi informasi, para generasi muda lebih senang bacaan digital. Maka sebagian besar media cetak mulai tergerus. Ada yang tutup, ada pula yang sekarat.
Media cetak yang masih bertahan mulai mengembangkan tren digital. Kompas, misalnya, dulu tirasnya bagitu banyak. Namun semakin hari semakin sedikit, bahkan jumlah halaman semakin menipis. Kini kompas.id berjalan bersamaan dengan Kompas cetak. Begitu pula media-media lain, punya cetak dan punya daring.
Di pihak lain, media-media yang semula berkiprah dalam daring, mulai memperkuat diri. Beberapa media daring ada yang tergolong besar hingga kecil. Bahkan beberapa media daring mampu memberikan honorarium untuk para penyumbang tulisan.
Di luar Kompasiana (milik grup Kompas) dan Indonesiana (milik grup Tempo), sepengetahuan saya ada beberapa platform blog publik. Saya pernah ditawari mengisi platform tersebut. Penulis akan memperoleh honorarium sesuai pay per view.
Namun saya masih belum berkesempatan mengisi platform lain. Untuk mengisi Kompasiana, Indonesiana, dan beberapa blog pribadi saja menguras waktu dan tenaga.
Menulis merupakan kerja sunyi. Hasilnya untuk keabadian seperti kata sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Selama tidak menulis, ia akan hilang dari keabadian dan sejarah. Dalam masa pandemi ini, menulis menjadi terapi kesehatan yang paling murah.*** Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H