Hari ini 7 Juli 2020 Museum Bahari berulang tahun. Museum yang beralamat Jalan Pasar Ikan Nomor 1, Jakarta Utara, ini berdiri pada 7 Juli 1977. Jadi usia saat ini 43 tahun.
Untuk menyambut keceriaan tersebut, Museum Bahari menyelenggarakan sebuah kegiatan bertopik "Pasar Ikan Explorer". Kegiatan berlangsung pada 7-12 Juli 2020. Mengingat masih dalam masa pandemi, tentu saja kegiatan mempertimbangkan protokol kesehatan.
Acara pembukaan berlangsung secara tatap muka terbatas dan virtual di auditorium. Hadir pada acara tersebut Kepala UP Museum Kebaharian Pak Berkah Shadaya, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta Pak Iwan Henry Wardhana, dan Ketua Paramita Jaya Pak Yiyok T. Herlambang.
Setelah pembukaan dan pemotongan tumpeng, acara diisi dengan diskusi Penulisan Sejarah Kebaharian Indonesia dengan tiga narasumber, yaitu Pak Restu Gunawan (Direktur Pemanfaatan dan Pengembangan Kebudayaan, Kemdikbud), Pak Heri Sutrisno (Subdisjarah Dispenal TNI AL), dan Pak Jodhi Yudono (jurnalis/musikus). Sebagai moderator Mas Firman dari Museum Bahari.
Pak Restu di awal makalahnya menceritakan tentang laut bebas, misalnya antara Jawa dan Kalimantan dulu dapat dilayari kapal asing. Namun kemudian kapal asing hanya dapat berlayar di perairan lepas.
Poros maritim ikut diuraikan Pak Restu. Dengan adanya pencanangan poros maritim, mulai dibangun pelabuhan berskala internasional, transportasi antarpulau dan kawasan, percepatan bongkar muat, dsb. "Pembangunan infrastruktur maritim yang dilakukan secara terus-menerus yang merupakan bagian dari 'tradisi kecil' sangat penting. Namun untuk memperkuat tradisi kecil tersebut perlu didukung oleh penguatan pembangunan 'tradisi besar' kemaritiman yang lebih mengedepankan alam pikir, perilaku sehingga akan terbentuk karakter kemaritiman bangsa Indonesia," kata Pak Restu.
Belanda, misalnya, membuat peraturan dan perjanjian yang melarang nelayan Makassar melakukan pelayaran di luar pulau sekitar Makassar kecuali ada izin. Perjanjian Belanda dengan Mataram tentang pengelolaan pantai utara Jawa telah menghancurkan tradisi melaut orang Jawa. Di Bali hukum tawan karang dihapuskan. Begitulah Pak Restu memberi contoh.
"Sebenarnya tradisi kemaritiman bangsa Indonesia sudah ada sejak berabad-abad lampau. I-tsing (abad ke-7) dan Tome Pires (abad ke-15), bahkan pada abad sebelum Masehi sudah ada informasi tentang pelayaran dari Nusantara. Umumnya mereka adalah pemburu rempah-rempah di kepulauan kita. Pada abad sebelum Masehi saja, mumi Raja Ramses dari Mesir menggunakan rempah-rempah," begitu kata Pak Restu.
Menurut Pak Heri, historiografi maritim Indonesia baru muncul pada 1980-an dan masih didominasi karya tulis akademis seperti karya A.B. Lapian. Kurangnya media sejarah maritim masih sangat terasa.
Pak Heri menyarankan nanti bisa disusun sejarah maritim dengan isi sejarah politik maritim, sejarah ekonomi maritim, sejarah budaya maritim, dan sejarah hankam maritim.
Pak Jodhi ikut mengisi acara dengan lagu dan puisi bertema maritim. Nenek moyangku orang pelaut...begitu ia bernyanyi sambil bermain gitar.
Selain diskusi, acara dilengkapi bazar. Pada halaman plaza ada penjaja ikan asin, kerak telor, kue rangi, dan es selendang mayang. Di bagian dalam ada penjualan kuliner dan batik khas Cirebon, kosmetik, dan wadah plastik. Ada juga demonstrasi pembuatan perahu phinisi berbahan bambu. Acara-acara lain bisa dilihat pada jadwal kegiatan di atas.
Sejak lama kita dikenal sebagai bangsa bahari. Ayo, jangan lupa melihat kebesaran nenek moyang kita di Museum Bahari.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H