Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jejak Manusia Purba dari Bumiayu Berusia Dua Juta Tahun

18 Juni 2020   20:15 Diperbarui: 18 Juni 2020   20:19 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pak Harry/kiri dan Pak Agus/kanan (Dokpri)

Berbicara manusia purba, kita tidak dapat berpaling dari Prof. (Ris) Harry Widianto. Sejak lama beliau menekuni studi manusia purba. Bahkan selama beberapa tahun, beliau pernah menjadi Kepala Balai Pelestarian Situs Manusia Purba (BPSMP) Sangiran. Saat ini beliau menjadi peneliti di Balai Arkeologi Yogyakarta (Balar DIY).

Sebagai peneliti, Pak Harry sering mendatangi situs-situs purba yang berusia ribuan tahun. Sejak beberapa tahun lalu beliau berfokus pada penelitian di Bumiayu. Kamis, 18 Juni 2020, beliau memaparkan cerita tentang situs tersebut pada acara Gelar Wicara Daring bertema "Mereka Hadir Sangat Dini di Pulau Jawa". Selain Pak Harry, tampil Pak Agus Tri Hascaryo, seorang Geoarkeolog. Acara dimoderatori oleh Pak Gunadi Kasnowihardjo. Pembukaan acara dilakukan oleh Kepala Balar DIY, Pak Sugeng Riyanto.

Pak Harry/kiri dan Pak Agus/kanan (Dokpri)
Pak Harry/kiri dan Pak Agus/kanan (Dokpri)
Sangat dini

Pada awal uraiannya, Pak Harry memaparkan Teori "Out of Africa", yakni keluarnya manusia purba yang disebut Homo erectus dari Afrika pada 1,8 juta tahun yang lalu. Mereka bermigrasi ke iklim dingin di Eropa dan Tiongkok, ke iklim sedang di Asia Depan, dan ke iklim panas di Pulau Jawa. Di Jawa mereka tinggal di Sangiran, Ngandong, Patiayam, Sambungmacan, Trinil, Kedungbrubus, dan Perning.

Menurut Pak Harry, Homo erectus memiliki tiga tingkatan evolutif, berturut-turut disebut Homo erectus arkaik, Homo erectus tipik, dan Homo erectus progresif. Mereka memiliki volume otak 870 cc, 900-1.000 cc, dan 1.100 cc. Homo erectus arkaik berasal dari masa 1,5 juta- 0,8 juta tahun lalu. Homo erectus progresif bertarikh 0,2-0,15 juta tahun lalu. Sementara Homo erectus tipik bertarikh 0,7-0,3 juta tahun lalu.

Masa yang lebih tua justru ditemukan di Bumiayu, Jawa Tengah. Daerah ini terletak di pantai timur Jawa Barat. Sekitar dua juta tahun lalu daerah Bumiayu sudah terangkat sebagai daratan. Hal ini dibuktikan oleh temuan gajah purba yang berdasarkan biostratigrafi diperkirakan dari Pliosen Atas, sekitar dua juta tahun yang lalu. Temuan fauna lain yang lebih muda adalah kuda air, kura-kura raksasa, kijang, banteng, dan kerbau.

Jejak fauna tertua ini ditemukan di Kali Glagah, Kali Cisaat, Kali Biuk, dan Kali Gintung. Kali-kali itu diteliti berdasarkan biostratigrafi oleh Pak Agus.

Selain fosil, pada 2004 ditemukan artefak berupa kapak penetak. Kapak ini terbuat dari koral. Adanya kapak jelas menandakan, benda itu dibuat oleh manusia.

Fauna tertua di Bumiayu (Dok. Balar DIY)
Fauna tertua di Bumiayu (Dok. Balar DIY)
Tampil ke panggung dunia

Di Bumiayu juga pernah ditemukan fosil jelek tapi bermanfaat. "Semoga nanti 'aktor-aktor' dari Bumiayu ini bisa tampil ke panggung dunia," kata Pak Harry.

Pak Harry sedikit menyinggung masalah religi berdasarkan pertanyaan peserta. Katanya, religi baru ditemukan pada manusia Neanderthal di Eropa dan Asia. Bentuk religi adalah penanaman jenazah. Manusia yang meninggal itu dikubur secara terlipat di dalam gua yang terlindung. Filosofinya adalah kembali ke waktu lahir.

Lalu soal penambahan volume otak yang menunjukkan manusia semakin pandai, menurut Pak Harry, menyebabkan tengkorak semakin menipis. Tentang pertanyaan mengapa manusia purba tidak ditemukan di Sumatera dan Kalimantan, Pak Harry mengatakan dulu kedua pulau merupakan lembah yang sekarang tertutup air. Kedua daerah juga merupakan rawa. Karena rawa, maka kemungkinan sisa-sisa makhluk hidup tidak terawetkan.

Banyak pertanyaan dari para peserta, di antaranya tentang pengamanan temuan purba di Bumiayu. Dikabarkan selama ini penemuan fosil Bumiayu Tonjong disimpan di museum mini Bumiayu dan Kampung Purba Tonjong. Harusnya di tahun ini rencana pendirian museum purbakala di Galuh berlangsung. Namun tertunda karena Covid-19. "Masterplan museum sudah dibuat oleh konsultan dengan belajar dari museum Sangiran," kata seorang aktivis Bumiayu.

Manusia purba dari Bumiayu (Dok. Balar DIY)
Manusia purba dari Bumiayu (Dok. Balar DIY)
Pak Otto S.R. Ongkosongo mengharapkan hasil kajian Prof. Dr. Teuku Jacob yang sangat banyak dan mendalam itu bisa dilanjutkan oleh peneliti masa kini.

Pertanyaan lain dari masyarakat adalah apa faktor utama penyebab migrasi manusia purba dari Afrika;  mengapa sulit sekali ditemukan fosil manusia purba di Jawa Barat; bagaimana membedakan fosil dengan batu; apakah tidak menutup kemungkinan bercak putih yang dijumpai pada permukaan tulang di Kali Bodas adalah Caliche, mengingat di daerah ini umumnya disusun oleh batuan vulkanik Formasi Gintung, yang banyak mengandung unsur Ca pembentuk caliche.

Sejak pandemi, kegiatan daring menjadi 'primadona' untuk menjadikan 'bahagia di rumah'. Semoga di masa keterbatasan sosial ini, kegiatan daring semakin diminati masyarakat sehingga berdampak pada apresiasi masyarakat terhadap kepurbakalaan.***

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun