Arca-arca batu berukuran besar terdapat di berbagai wilayah di Indonesia. Di Lembah Bada (Sulawesi Tengah), misalnya, bisa dijumpai arca-arca manusia berukuran raksasa. Di Sumatera Selatan juga terdapat benda-benda batu berukuran besar. Benda-benda batu purba itu kebanyakan tersebar di kabupaten Lahat, Pagar Alam, Muara Enim, dan Empat Lawang. Dalam arkeologi dikenal sebagai megalitik Pasemah.
Megalitik, berasal dari kata mega = besar dan litik = batu. Jadi batu besar. Umurnya lebih tua daripada Candi Borobudur. Candi Borobudur saja didirikan pada abad ke-9. Nah, benda-benda batu itu lebih tua sekitar 1.000 tahun. Pasemah merujuk pada nama dataran. Dataran Pasemah, begitu dikenalnya, memanjang di sekitar Kabupaten Lahat dan kota Pagar Alam. Mungkin karena berbatasan dengan Gunung Dempo di sebelah barat daya dan Pegunungan Gumai di sebelah timur laut sehingga daerah tersebut kaya akan tinggalan purba.
Alam terbuka
Tinggalan-tinggalan megalitik tersebut tersebar di alam terbuka, seperti hutan, perkebunan, persawahan, dan permukiman. Nah, inilah repotnya kalau berada jauh dari jangkauan manusia. Tentu tidak ada kecemasan bila warga sekitar memiliki kepedulian terhadap tinggalan-tinggalan lama.
Kebudayaan megalitik Pasemah sebenarnya telah diteliti pada akhir abad ke-18. Namun baru terkenal ketika van der Hoop melakukan ekskavasi dan menerbitkan buku pada 1932. Ketika itu Hoop menemukan manik-manik kaca dan benda-benda logam. Dari penelitian para pakar, ditafsirkan megalitik Pasemah bertarikh abad ke-3 Masehi. Â Sekitar 1.700 tahun dari sekarang.
Arca megalitik ternyata tidak berdiri sendiri. Di sekitarnya kadang terdapat menhir, dolmen, kubur batu, batu datar, lumpang batu, tetralith, dan lesung batu. Tinggalan-tinggalan batu tersebut, terutama arca batu, ada yang masih in situ atau berada di tempat asal. Jadi mudah dianalisis secara kontekstual lewat hubungannya dengan temuan lain di sekitarnya. Beberapa arca batu menjadi koleksi Museum Balaputeradewa, Palembang dan Museum Nasional, Jakarta.
Masyarakat sekitar
Masalah megalit ini menjadi bahan diskusi daring oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi pada Kamis, 11 Juni 2020 dengan pembicara Pak Kristanto Januardi (BPCB Jambi), Pak Mario Andramartik (Komunitas Panoramic of Lahat), dan Ibu Maria Tri Widayati (Akademisi), dengan moderator Pak Rhis Eka Wibawa (BPCB Jambi).
Kepala BPCB Jambi Pak Iskandar M. Siregar dalam sambutannya mengatakan acara ini digelar dalam rangka menyambut Hari Lahir Pancasila 1 Juni sekaligus Hari Purbakala 14 Juni. Pada intinya, kata Pak Iskandar, diskusi daring bertopik "Cahaya Negeri Seribu Megalit" ini mencari masukan mau diapakan megalitik Pasemah dan Lahat.
Wakil Bupati Lahat dalam pengantarnya mengatakan Lahat berpenduduk sekitar 423.000 jiwa. Beliau menyebut juga pentingnya pelatihan pemandu wisata dan kesejahteraan masyarakat sekitar.
Memberi manfaat
Menurut Pak Kristanto, Cagar Budaya banyak memberi manfaat atau memberi nilai. Terutama manfaat ekonomi lewat pengunjung yang datang. Misalnya para penjual cendera mata, pemilik warung, atau petugas parkir mendapat pemasukan.
Tujuan pelestarian juga diuraikan Pak Kristanto, antara lain untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa, memperkuat kepribadian bangsa, dan mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat internasional. Nah, menurut Pak Kristanto nanti penting dibicarakan pembagian hak pengelolaan antara Pemkab, BPCB Jambi, desa, dan masyarakat/komunitas.
Sebagai komunitas, Pak Mario aktif melakukan berbagai kegiatan di Lahat, antara lain mensurvei, mendata, dan mendokumentasikan tinggalan-tinggalan di Lahat dan sekitarnya. Berkat kegiatan itu Pak Mario pernah mendapat anugerah MURI (Museum Rekor-rekor Indonesia) dan Lahat mendapat julukan "Kota Seribu Megalit". Juga sebagai komunitas berprestasi dari Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Pusat.
Kata Pak Mario, masalah yang selama ini terjadi adalah kurang sinerji antara pusat dengan daerah, kesadaran masyarakat masih kurang, dan hampir selalu terkendala dana.
Hal hampir serupa diungkapkan Ibu Maria. Dari 1.027 tinggalan megalitik yang tersebar di 40 situs di 22 kecamatan, mau diapakan? Kalau dibiarkan tentu akan rusak atau aus oleh alam/manusia, apalagi kalau masyarakat tidak peduli tinggalan budaya. Kalau dimanfaatkan, bagaimana caranya, siapa yang melakukannya, dan apa dampaknya.
Ibu Maria mendorong adanya wisata minat khusus berupa wisata perdesaan. Jadi wisatawan bisa menginap di rumah-rumah penduduk. Cara pendirian desa wisata ada tiga pilihan, yakni inisiatif masyarakat, ditunjuk oleh pemerintah, atau dibuat oleh investor. Ibu Maria merekomendasikan yang pertama, yakni inisiatif masyarakat.
Kegiatan di masa pandemi dan normal baru memang terbatas pada daring. Namun keuntungannya, kita bisa mengikuti kegiatan yang jauh dari lokasi. Seperti saya yang dari Jakarta, bisa mengikuti kegiatan di Jambi ini. Tentu asalkan internet atau sinyal kuat. Semoga di masa normal, kegiatan konvensional dan kegiatan digital bisa berjalan beriringan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H