Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Melestarikan Tinggalan Berusia 1.700 Tahun di Lahat dengan Wisata Perdesaan

11 Juni 2020   15:21 Diperbarui: 11 Juni 2020   15:25 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kepala BPCB Jambi Pak Iskandar M. Siregar (Dokpri)

Wakil Bupati Lahat dalam pengantarnya mengatakan Lahat berpenduduk sekitar 423.000 jiwa. Beliau menyebut juga pentingnya pelatihan pemandu wisata dan kesejahteraan masyarakat sekitar.

Batu gambar berusia 1.700 tahun (Dok. BPCB Jambi)
Batu gambar berusia 1.700 tahun (Dok. BPCB Jambi)

Memberi manfaat

Menurut Pak Kristanto, Cagar Budaya banyak memberi manfaat atau memberi nilai. Terutama manfaat ekonomi lewat pengunjung yang datang. Misalnya para penjual cendera mata, pemilik warung, atau petugas parkir mendapat pemasukan.

Tujuan pelestarian juga diuraikan Pak Kristanto, antara lain untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa, memperkuat kepribadian bangsa, dan mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat internasional. Nah, menurut Pak Kristanto nanti penting dibicarakan pembagian hak pengelolaan antara Pemkab, BPCB Jambi, desa, dan masyarakat/komunitas.

Sebagai komunitas, Pak Mario aktif melakukan berbagai kegiatan di Lahat, antara lain mensurvei, mendata, dan mendokumentasikan tinggalan-tinggalan di Lahat dan sekitarnya. Berkat kegiatan itu Pak Mario pernah mendapat anugerah MURI (Museum Rekor-rekor Indonesia) dan Lahat mendapat julukan "Kota Seribu Megalit". Juga sebagai komunitas berprestasi dari Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Pusat.

Kata Pak Mario, masalah yang selama ini terjadi adalah kurang sinerji antara pusat dengan daerah, kesadaran masyarakat masih kurang, dan hampir selalu terkendala dana.

Hal hampir serupa diungkapkan Ibu Maria. Dari 1.027 tinggalan megalitik yang tersebar di 40 situs di 22 kecamatan, mau diapakan? Kalau dibiarkan tentu akan rusak atau aus oleh alam/manusia, apalagi kalau masyarakat tidak peduli tinggalan budaya. Kalau dimanfaatkan, bagaimana caranya, siapa yang melakukannya, dan apa dampaknya.

Ibu Maria mendorong adanya wisata minat khusus berupa wisata perdesaan. Jadi wisatawan bisa menginap di rumah-rumah penduduk. Cara pendirian desa wisata ada tiga pilihan, yakni inisiatif masyarakat, ditunjuk oleh pemerintah, atau dibuat oleh investor. Ibu Maria merekomendasikan yang pertama, yakni inisiatif masyarakat.

Kegiatan di masa pandemi dan normal baru memang terbatas pada daring. Namun keuntungannya, kita bisa mengikuti kegiatan yang jauh dari lokasi. Seperti saya yang dari Jakarta, bisa mengikuti kegiatan di Jambi ini. Tentu asalkan internet atau sinyal kuat. Semoga di masa normal, kegiatan konvensional dan kegiatan digital bisa berjalan beriringan.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun