Aksara kuno yang paling banyak terdapat di Nusantara adalah Jawa Kuno. Aksara ini tertulis pada prasasti atau batu bertulis. Ada yang sengaja dibuat, biasanya berkenaan dengan wilayah tertentu, misalnya sima atau wilayah yang dicagarkan. Ada juga prasasti yang tertulis pada bagian candi, namun berupa prasasti pendek.
Bahan lain untuk sarana penulisan prasasti adalah lempengan logam. Biasanya prasasti batu diletakkan di tempat yang strategis karena merupakan anugerah raja atau pejabat kerajaan. Prasasti logam sebagai tembusannya, disimpan oleh penguasa lokal yang mendapat anugerah.
Sejak beberapa tahun lalu aksara Jawa Kuno mulai disukai masyarakat. Selama masih ada pendukung, tentu aksara Jawa Kuno tidak akan mati. Sinau aksara, begitulah kegiatan yang dilakukan oleh berbagai komunitas peduli sejarah dan budaya.
Komunitas Jawa Kuno Sutasoma di Kediri, Komunitas Asta Gayatri di Tulungagung, Komunitas Tapak Jejak Kerajaan di Sidoarjo, Komunitas Medang Kingdom Community di Magelang, serta Kelompok Pemerhati Budaya dan Museum Indonesia di Jakarta, sering menyelenggarakan sinau aksara. Peminat kegiatan ini lumayan banyak. Â
Menyambut Hari Purbakala 14 Juni sekaligus mengisi kekosongan pada masa pandemi ini, Rabu, 3 Juni 2020, Balai Arkeologi DIY yang di media sosial disebut Balar Jogja, menyelenggarakan lokakarya aksara Jawa Kuno lewat daring. Pembicara dalam kegiatan itu adalah Ibu Mimi Savitri dari Jurusan Arkeologi UGM dan Pak Goenawan A. Sambodo, arkeolog freelancer yang sering mengisi sinau Jawa Kuno untuk komunitas.
Dari uraian Ibu Mimi dan Pak Goenawan, masyarakat tahu bahwa ada prasasti yang disebut tinulad dan prasasti palsu. Prasasti palsu memang cukup marak dengan tujuan untuk menipu kolektor. Umumnya terbuat dari lembaran tipis emas. Buat yang tidak mengerti tentu akan kagum dengan 'prasasti' tersebut. Ternyata di mata ahli membaca prasasti yang disebut epigraf, ketahuan bahwa aksara yang tertulis itu terbalik.
Diketahui pula bahwa aksara pada prasasti tidak selalu sama. Ini dimaklumi karena penulis prasasti yang disebut citralekha itu berbeda-beda orang. Bayangkan prasasti berasal dari abad ke-5 hingga ke-15. Seperti kita menulis pada kertas, tentu ada berbagai model, ukuran, dan corak.
Ada pertanyaan dari peserta, bagaimana kalau si pemahat salah tulis? Memang beberapa epigraf pernah menemukan aksara yang agak 'aneh'. Rupanya ada salah tulis. Maklum human error. Karena kalau dipahat ulang memerlukan batu dan waktu, maka aksara yang salah itu cukup 'ditandai'. Aksara yang benar kemudian disisipkan pada bagian atas.