Kalau tidak ada si covid, mungkin saya sulit mengikuti kegiatan Balai Pelestarian Cagar Budaya Kalimantan Timur atau BPCB Kaltim. Bayangkan berapa biayanya kalau harus terbang dari Jakarta ke Samarinda. Untung saja ada aplikasi yang bisa menjangkau kegiatan itu. Namanya Zoom. Dibekali nomor ID dan password oleh panitia, maka kelihatanlah wajah saya dalam layar. Begitu pun saya bisa melihat wajah peserta lain.
Tadi pukul 10-pukul 12 WITA atau pukul 09-pukul 11 WIB, BPCB Kaltim punya kegiatan diskusi daring bertemakan "Sinergitas Pelestarian Cagar Budaya" dengan narasumber Direktur Pelindungan Kebudayaan, Pak Fitra Arda; Arkeolog dari Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Akin Duli; dan Kepala BPCB Kaltim, Pak Muslimin A.R. Effendy. Â Sebagai moderator Pak Budi Istiawan. Para peserta diskusi berjumlah sekitar 80 orang, berasal dari Jakarta, Palembang, Gorontalo, Samarinda, dan beberapa kota lain.
Pak Fitra memulai uraian dengan kilas balik direktorat yang ada di lingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan. Sejak beberapa bulan lalu telah berubah menjadi nomenklatur baru. Sebelumnya Pak Fitra adalah Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman.
Dengan adanya nomenklatur baru dan sesuai obyek pemajuan kebudayaan, maka sekarang tidak ada pembagian berdasarkan subdisiplin seperti arkeologi, sejarah, antropologi, dan seni. Direktorat Pelindungan Kebudayaan sendiri dulu hanya menangani warisan budaya tangible, tapi sekarang mencakup juga yang intangible.
Menurut Pak Fitra, yang berpengalaman di lapangan karena pernah menjadi Kepala BPCB Sumatera Barat, masyarakat atau komunitas memang perlu dilibatkan. Misalnya jika rumah-rumah tradisional harus diperbaiki, kayunya dari mana. Nah, masyarakat bisa menanam pohon yang dibutuhkan itu. Begitu pun untuk membuat rendang yang enak. Tentu dibutuhkan lengkuas, bumbu-bumbu lain, dan daging yang berkualitas nomor satu.
Saat ini Direktorat Pelindungan Kebudayaan boleh dibilang menjadi ujung tombak karena tugasnya melakukan penetapan Cagar Budaya dan Warisan Budaya Takbenda. Dari sini baru ke Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan.
Pentingnya kemitraan juga diungkapkan Prof. Akin Duli. "Masyarakat harus diberi peran yang lebih luas untuk mengelola cagar budaya. Pembentukan komunitas pun penting di daerah. Mereka tidak paham mengelola," kata Pak Akin. Sebagai contoh, pohon dan gunung mereka masukkan sebagai cagar budaya. Tenaga registrasi pun bukan tenaga kompeten. Untuk itu perlu pendidikan buat mereka.
Menurut Pak Akin ada dua dampak pelestarian cagar budaya. Pertama, di bidang ekonomi, yakni menciptakan lapangan pekerjaan dan tumbuhnya perekonomian di sekitar cagar budaya. Misalnya pemasukan tiket, penginapan, restoran, dan industri kerajinan. Kedua, di bidang nonekonomi, berupa perbaikan infrastruktur, kebanggaan daerah, dan lestarinya warisan leluhur.
Soal pelibatan komunitas, terutama lewat program pendukungan, juga diutarakan Pak Muslimin. Kata Pak Muslimin ada empat pertimbangan program kemitraan, yakni ekonomi, tanggung jawab publik, sisi peradaban, dan tata kelola negara.
Mengenai strategi pencapaiannya, menurut Pak Muslimin, perlu perencanaan berbasis perkuatan gerakan pelestarian, sosialisasi terpadu, program aksi kolaboratif, dan menciptakan strategi pendanaan. Gotong royong merupakan kunci kemitraan dalam melestarikan cagar budaya, begitu kata Pak Fitra.
Mengingat cagar budaya ada di mana-mana, baik tempat ramai maupun tempat terpencil, memang kemitraan dengan masyarakat sangat penting. Ada beberapa pertanyaan yang belum sempat terjawab karena waktu, antara lain kalau bangunan cagar budaya milik pemerintah ada dana APBN/APBD, bagaimana dengan bangunan cagar budaya milik pribadi. Akankah mendapatkan bantuan?
Dalam situasi memutus mata rantai wabah, kegiatan daring bisa saja menjadi pola baru karena menjangkau seluruh Indonesia, meskipun terkadang sinyal kurang bagus.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H