Istilah pesantren berasal dari kata dasar santri. Dalam Bahasa Sanskerta, kata santri berasal dari kata cantrik yang berarti murid padepokan, atau murid orang pandai, atau orang yang selalu mengikuti guru.Â
Begitu kata Pak Masyhudi, dari Balai Arkeologi DIY, dalam gelar wicara daring bertema "Vihara dan Pesantren dalam Perspektif Arkeologi". Soal vihara, yang dibawakan oleh Ibu Agni Mochtar, sudah saya tulis kemarin.
Bahasa Tamil
Ternyata istilah santri juga ada dalam Bahasa Tamil, berarti guru mengaji. Dalam bahasa India istilah tersebut berasal dari kata shastri, yang berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu.Â
"Kata shastri juga berasal dari kata shastra yang berarti buku buku-suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan," kata Pak Masyhudi.
Kemudian kata pondok berasal dari Bahasa Arab funduuq yang berarti asrama, penginapan atau hotel.Â
"Sebuah pondok pada dasarnya merupakan sebuah asrama pendidikan Islam tradisional di mana para siswanya (santri) tinggal bersama di bawah bimbingan seorang atau lebih dengan guru yang lebih dikenal dengan kiai," jelas Pak Masyhudi. Menarik kan, pondok pesantren berasal dari bahasa Sanskerta, Tamil, dan Arab.Â
Kiai
Menurut Pak Masyhudi, elemen dasar sebuah pesantren adalah pondok, masjid, pengajaran kitab-kitab klasik, santri, dan kyai.Â
Santri adalah murid-murid yang tinggal di dalam pesantren untuk mengikuti pelajaran kitab-kitab kuning atau kitab-kitab Islam klasik yang pada umumnya terdiri atas dua kelompok santri.
Pertama, Santri mukim, yaitu santri atau murid-murid yang berasal dari jauh yang tinggal atau menetap di lingkungan pesantren.Â
Kedua, Santri kalong, yaitu santri yang berasal dari desa-desa sekitar pesantren. Mereka tidak menetap di lingkungan kompleks pesantren, karena setelah mengikuti pelajaran mereka pulang.
Pada bagian lain Pak Masyhudi mengatakan Pondok pesantren tradisional memiliki metode tersendiri dalam mengajarkan agama Islam, yaitu metode sorogan dan bandongan. Kedua istilah ini sangat populer di kalangan pesantren, terutama yang masih menggunakan kitab kuning sebagai sarana pembelajaran utama. Satu lagi metode Klasikal.
Tentang istilah kyai atau kiai, menurut Pak Masyhudi bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa. Kata kiai mempunyai makna yang agung, keramat, dan dituahkan.Â
Gelar kiai diberikan kepada seorang laki-laki yang lanjut usia, arif, dan dihormati di Jawa. Juga diberikan untuk benda-benda yang dikeramatkan dan dituahkan, seperti keris dan tombak. Namun pengertian paling luas di Indonesia, sebutan kiai yang dimaksudkan adalah untuk para pendiri dan pemimpin pesantren.
ZoomÂ
Gelar wicara daring dilakukan melalui aplikasi Zoom. Sebelumnya calon peserta harus mendaftar lewat tautan tertentu. Jika sudah mencapai kuota, pendaftaran ditutup dan peserta terpilih akan mendapatkan tautan Zoom yang diberitahukan lewat surat elektronik atau email. Kegiatan gelar wicara dipandu oleh Mbak Putri Taniardi dan juga disiarkan langsung lewat youtube.Â
Kegiatan lewat komputer atau telepon seluler semakin akrab sejak adanya wabah pandemi. Keuntungan aktivitas seperti ini tepat waktu dan bisa diikuti peminat dari berbagai kota. Tidak seperti kegiatan tatap muka yang biasanya terbatas untuk wilayah tertentu.
Menurut Kepala Balai Arkeologi DIY Bapak Sugeng Riyanto yang menyempatkan hadir, kegiatan daring akan dilakukan secara berkala dalam rangka himbauan pemerintah "di rumah saja".Â
Apalagi 14 Juni mendatang kalangan arkeologi memperingati Hari Purbakala. Kita harapkan masyarakat akan tercerdaskan karena kegiatan daring ini terbuka untuk kalangan arkeologi dan nonarkeologi.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H