Yang sederhana belum tentu berkualitas buruk. Yang modern belum tentu berkualitas baik. Begitulah kalau kita menggambarkan kualitas publikasi dulu dan sekarang.
Publikasi umumnya selalu dihubungkan dengan kualitas cetakan. Publikasi yang banyak beredar, terutama oleh penerbit menengah dan besar, selalu dicetak offset. Atau katakanlah dengan mesin cetak lumayan besar.
Selain dengan mesin offset, publikasi bisa dilakukan dengan cara foto kopi. Bisa juga dengan cara yang lebih murah, yakni menggunakan mesin stensil.
Generasi 1960-an hingga 1980-an pasti mengenal mesin stensil. Cara penggunaannya cukup sederhana. Pertama, kita mengetik naskah atau tulisan di atas selembar kertas stensil yang disebut stencil sheet.
Kalau misalnya tulisan salah tik, bisa dihapus menggunakan cairan yang disebut correcting fluid. Lalu di atasnya ditik kata yang benar.
Untuk mengetik memang menggunakan mesin tik biasa. Namun terlebih dulu pita mesin tik dicabut. Jadi langsung mengenai kertas stensil, yang dilengkapi semacam karbon agar tulisan terbaca.
Selesai pengetikan, kertas-kertas stensil itu dibawa ke tukang stensil. Perlengkapan yang diperlukan kertas duplikator, tinta stensil, dan mesin stensil.
Karena dikerjakan secara manual, ada juga mesin stensil elektrik, terkadang pemolesan tinta kurang merata sehingga hasil cetakan agak buram.
Ingat mesin stensil, tentu ingat masa lalu. Pada 1980-an saya ikut membantu tim untuk pengadaan buku Kamus Arkeologi Indonesia 2 dan Bibliografi Arkeologi Indonesia 1951-1980. Kedua buku diterbitkan oleh Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia di Rawamangun.
Saya ingat ketika itu yang menjadi tukang stensil bernama Pak Jiman. Sore hari saat kuliah sudah sepi, saya dan beberapa teman ke ruang stensil. Wah, pokoknya pekerjaan cukup merepotkan. Pada bagian akhir ke tukang jilid yang banyak terdapat di seputaran Rawamangun.
Kamus Arkeologi Indonesia 2 termasuk buku babon. Buku ini hasil pengerjaan selama beberapa tahun oleh Nurhadi Magetsari, Abu Sidik Wibowo, Hasan Djafar, IGAA Ratnadi, S. Kusparyati, Sumarti, dan Ayatrohaedi. Buku ini disusun secara alfabetis, memuat berbagai uraian singkat tentang candi, prasasti, arca, nama raja, dan tentang kearkeologian lain.
Buku ini memiliki ketebalan 328 halaman. Cukup tebal memang. Hal ini karena buku distensil satu muka. Kalau seandainya bolak-balik, tentu jumlah halaman semakin menyusut. Namun kekurangan cara stensil, kalau bolak-balik hasil cetakan suka tembus.
Buku Bibliografi Arkeologi Indonesia pun dicetak satu muka dengan ketebalan 318 halaman. Penyusun buku ini terdiri atas Hasan Djafar, Edhie Wurjantoro, Tawalinuddin Haris, dan Siswadhi.
Sesuai namanya bibliografi, tentu saja isi buku tentang tulisan---baik berupa buku maupun artikel, atau makalah---yang berhubungan dengan kearkeologian. Tentu saja dibatasi antara 1951 sampai 1980.
Sementara para penulisnya memiliki beragam latar pendidikan, seperti arkeologi, sejarah, geologi, arsitek, dan kedokteran. Tidak ada pembatasan asal penulis. Para pakar atau pemerhati mancanegara, banyak juga termuat dalam buku ini.
Sebenarnya kedua buku amat bermanfaat untuk kalangan arkeologi generasi 2000-an.
Sekitar 1983 itu kedua buku dicetak sangat terbatas. Seingat saya tidak sampai 100 eksemplar. Tentu saja generasi-generasi setelah kampus Rawamangun membutuhkan kedua buku sebagai bahan referensi.
Semoga kedua buku bisa dicetak ulang dalam format yang lebih bagus. Referensi seperti ini tidak akan basi. Bayangkan, buku History of Java karangan Raffles yang ditulis pada abad ke-18 saja masih menjadi referensi hingga kini
Menurut saya, kedua buku masih fenomenal. Saya pikir ini tantangan juga untuk dosen-dosen generasi ketiga atau keempat, kalau boleh diumpamakan demikian, untuk menghasilkan karya 'keroyokan' lain yang bermanfaat untuk berbagai kalangan. Apalagi kini ilmu arkeologi sudah semakin berkembang. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H