Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Harga Uang Pinisi 100, Jangan Percaya "Kolektor Abal-abal"

4 Januari 2020   13:15 Diperbarui: 4 Januari 2020   13:36 2536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada 1992 Bank Indonesia mengeluarkan beberapa emisi uang kertas, salah satu di antaranya nominal Rp100. Uang kertas ini berukuran 136 mm x 68 mm dan didominasi warna merah. Pada bagian depan terdapat gambar perahu pinisi dengan layar terkembang. Tulisan "perahu pinisi" ada pada bagian bawah gambar. Pada bagian belakang terdapat gambar anak Gunung Krakatau.

Bertahun-tahun lamanya uang ini beredar di masyarakat. Setelah pencetakan 1992, pada tahun-tahun berikutnya uang ini tetap dicetak. Tahun pencetakan bisa dilihat pada kanan bawah.

Varian seperti ini menjadi obyek para numismatis. Maklum, mata uang tidak dicetak setiap tahun sebagaimana prangko. Jadi untuk menambah perbendaharaan koleksi, berbagai varian benar-benar diamati oleh para numismatis.

Pada akhir 2016 uang kertas ini ditarik dari peredaran. Dalam peraturan memang disebutkan masa edar uang adalah 25 tahun sejak pertama kali dikeluarkan.

Tulisan
Tulisan
Numismatis dan masyarakat awam

Sejak ditarik dari peredaran, masyarakat awam menganggap uang seperti itu disebut "uang kuno".   Ironis, sejak tumbuhnya internet terutama dengan kehadiran media sosial dan situs berbagi video/film, masyarakat awam sering menampilkan cerita yang menggegerkan. Dikatakan uang pinisi--istilah para numismatis--berharga mahal. Beberapa media malah pernah menulis kisah uang pinisi ini.

Dunia numismatik dibuat geger pula oleh ulah pembuat video. Uang kuno berharga jutaan, begitulah kira-kira hal yang disampaikan. Juga oleh 'tukang sulap' yang mengganti kata 'perahu pinisi' menjadi 'perahu layar'. Jangan heran, program penyuntingan foto mampu melakukan segalanya.

Sontak saja banyak warga antusias menjual 'uang kuno' pinisi. Lihat saja di laman jual beli atau di media sosial. Paling kurang mereka menawarkan harga Rp50.000 per lembar. Padahal, kondisi uang yang ditawarkan sudah tergolong 'amburadul'.

Memang dimaklumi namanya masyarakat awam. Kalau banyak yang jual, adakah yang beli? Tidak ada.

Harga eceran dan gepokan uang pinisi 100, diakses dari tokopedia pada 4 Januari 2020
Harga eceran dan gepokan uang pinisi 100, diakses dari tokopedia pada 4 Januari 2020
Ngeyel

Terus terang di mata numismatis, uang kertas dalam kondisi demikian tidak bakalan laku. Sebenarnya dalam dunia numismatik ada delapan grade atau tingkat kondisi. Namun secara umum hanya tiga grade yang dipakai, yakni bagus (prima), cukup (lumayan), dan jelek. Grade disebut prima bila bagian ujung koleksi masih runcing dan uang tersebut belum pernah berpindah tangan. Jadi seperti uang kertas dalam gepokan yang baru keluar dari bank. Dalam selongsongnya tertulis Bank Indonesia.

Istilah cukup (lumayan) mengacu pada uang kertas yang sudah pernah dipakai bertransaksi. Kondisinya tentu saja sudah tidak kaku lagi seperti pada grade prima. Sementara uang kertas disebut jelek bila kondisinya kotor, ada lipatan, bagian ujung uang tidak runcing lagi, sobek, dan ada coretan.

Sayang, sebagaimana bisa dilihat pada komentar-komentar di media sosial, masyarakat awam selalu ngeyel. "Namanya uang kuno yah pasti jelek," kata yang satu. "Masak uang kuno murah banget," kata yang lain.

Atas: kondisi jelek, bawah: kondisi: bagus (Dokpri)
Atas: kondisi jelek, bawah: kondisi: bagus (Dokpri)
Di tangan pedagang numismatik yang paham dunia numismatik, uang 100 rupiah itu bisa dijual Rp2.000 per lembar untuk kondisi prima. Yah, harga relatiflah. Ada juga yang menjual gepokan (isi 100 lembar) Rp100.000-Rp150.000. Kalau cuma kolektor buat apa beli gepokan.  

Bukan hanya uang pinisi 100 yang membuat heboh. Banyak 'numismatis abal-abal' juga melakukan hal serupa terhadap koleksi-koleksi lain. Memang ada sebuah koleksi yang berharga ratusan ribu bahkan jutaan, namun itu untuk koleksi yang unik dan langka. Biarlah yang mahal menjadi 'mainan' numismatis profesional yang duitnya gak memiliki nomor seri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun