Pada mulanya, ribuan tahun yang lalu, manusia purba hidup berpindah-pindah tempat. Jika sumber pangan dari lokasi yang satu habis, maka mereka akan mencari tempat lain.
Lama-kelamaan mereka mulai menetap, bahkan membudidayakan sumber pangan. Sumber pangan mereka adalah tumbuh-tumbuhan dan hewan. Tidak jarang mereka harus berburu hewan ke luar wilayah tempat tinggal mereka.
Untuk melindungi tubuh dari cuaca, mereka mencari ceruk atau gua. Di tempat itulah mereka tinggal, tentu dengan kondisi seadanya. Dari penelitian terhadap gua-gua purba, ditafsirkan gua memiliki tiga bagian. Bagian terbawah untuk tempat tinggal dan bagian tertinggi untuk 'nenek moyang', jadi bersifat suci.
Sebagai penanda gua ini milik si A, gua itu milik si B, dan seterusnya, kemungkinan manusia purba membuat 'lukisan'. Soalnya di banyak gua sering dijumpai bentuk-bentuk yang berlainan, seperti telapak tangan, berbagai jenis hewan, dan perahu.
Lukisan gua atau gambar cadas banyak ditemukan di Nusantara, mulai dari Sumatera hingga Papua. Selain di dalam gua, lukisan-lukisan purba juga terdapat di tebing atau sekitar pantai.Â
Bila dilihat memakai perahu, maka di Indonesia bagian timur gambar-gambar demikian kentara sekali. Begitu pula jika memakai drone. Dari Indonesia bagian timur, kemungkinan masuk ke Australia.
Beberapa pakar Indonesia telah mendokumentasikan gambar-gambar purba tersebut dalam ujud buku Gambar Cadas Prasejarah di Indonesia terbitan Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, 2015.
Situs tersebut ditemukan pada 2017. Di situ terdapat lukisan gua yang menggambarkan adegan sekelompok figur setengah manusia dan setengah hewan (therianthropes) yang sedang berburu hewan mamalia besar dengan tombak maupun tali.
Lukisan itu diperkirakan berasal dari 44.000 tahun yang lalu. Inilah lukisan tertua di dunia, yang tentu saja menunjukkan bangsa di Nusantara tidak kalah dengan bangsa di Eropa. Sebelumnya gua yang sering menjadi 'rujukan' adalah gua Lascoix di Perancis.
"Penggambaran figur pemburu dalam bentuk therianthropes merupakan bukti tertua bagi kemampuan manusia untuk mengimajinasikan keberadaan supernatural yang merupakan titik permulaan pengalaman terhadap kepercayaan rohani," demikian kata tim peneliti sebagaimana termuat dalam Jurnal Nature.
Penelitian tersebut merupakan kolaborasi antara Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Griffith University Australia. Tentu saja dengan dukungan dari Balai Arkeologi Sulawesi Selatan dan Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan. Â
Hasil penelitian itu dipaparkan di Gedung A, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada Kamis, 12 Desember 2019. Hadir Adhi Agus Oktaviana (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional), Rustan Lebe (Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan), Budianto Hakim (Balai Arkeologi Sulawesi Selatan), dan Maxime Aubert (Griffith University).
Pemaparan dimoderatori oleh Pak Pindi Setiawan, staf pengajar ITB yang juga peneliti gua. Bahkan salah satu gua dinamakan Gua Pindi, karena ditemukan oleh beliau.
"Pemburu yang digambarkan pada dinding gua adalah sosok sederhana dengan tubuh seperti manusia dengan kepala atau bagian tubuh lainnya berasal dari burung, reptil, dan spesies endemik Sulawesi," kata Adhi atau akrab disapa AA.
AA adalah arkeolog muda yang mempelajari seni cadas di Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Raja Ampat, dan Misool. Kini ia sedang menempuh pendidikan S-3 di Australia.
Therianthropes tadi digambarkan sedang menangkap enam mamalia yang melarikan diri, dua ekor babi rusa dan empat anoa. Alat yang dipergunakan cuma tali panjang.
"Hal ini merupakan pertama kalinya lukisan gua digambarkan secara mendetail, yang secara narasi visual berasal dari awal masa seni cadas di seluruh dunia. Padahal, selama ini diketahui bahwa seni cadas pertama ditemukan di Eropa yang menggambarkan simbol abstrak," demikian tulis Nature.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H