Sabtu, 23 November 2019, saya mendapat undangan dari Museum Bahari. Museum ini terletak di Jalan Pasar Ikan, Jakarta Utara. Pada zaman kolonial  Belanda, gedung Museum Bahari merupakan gudang rempah-rempah. Pembukaan Pameran Temporer Perahu Tradisional Nusantara, begitulah bunyi undangannya.
Cukup banyak generasi muda berminat pada pembukaan pameran. Seluruh kursi terisi penuh, bahkan pihak penyelenggara harus menambah kursi.
Sebelum pembukaan resmi oleh Plt. Kadisparbud Pak Albert, Kepala Museum Bahari Pak Husnison Nizar memberikan laporan pameran.
Pameran perahu tradisional dikuratori oleh Pak Bambang Budi Utomo, arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Pak Tomi, panggilan akrabnya, banyak bercerita tentang kebaharian. Ia menunjukkan lukisan perahu pada dinding gua di Pulau Muna dan gua Leang-leang di Sulawesi Selatan.Â
Ia menguraikan teknik rancang bangun perahu dengan budaya Asia Tenggara, yaitu teknik "papan ikat dan kupingan pengikat". Menurut Pak Tomi, perahu-perahu nenek moyang tergambar pada beberapa relief Candi Borobudur.
Cara pembuatan perahu juga diungkapkan Pak Tomi. Misalnya perahu dari sebatang pohon yang dikerok bagian tengahnya. Lalu soal pembuat perahu Madura yang kini tinggal sedikit, mungkin tidak sampai 10. Padahal pada 1980-an ada lebih dari 30 orang. Penyebabnya, hutan-hutan sekitar sudah semakin gundul, sehingga tidak ada pohon berkualitas.
Selain dari pohon utuh, ada perahu yang dibuat dengan teknik papan ikat. Untuk menyambung per bagian digunakan pasak kayu dan tali ijuk. Sisa-sisa perahu zaman dulu ditemukan pada beberapa situs arkeologi. "Perahu-perahu tradisional penuh filosofis kehidupan," begitu kata Pak Tomi.
Seusai pengantar kuratorial, para undangan diajak meninjau ruang pameran. Mas Ary Sulistyo, arkeolog anggota Tim Ahli Cagar Budaya Depok, menjadi pemandu. Dalam panel, kita dapat mengetahui fungsi perahu, yakni perahu dagang, perahu perang, serta perahu lomba dan rekreasi. Â Â
Pada panel lain ada info tentang perahu pinisi. Perahu ini sudah populer ke mancanegara. Perahu tradisional Bugis ini memiliki nama lain lambo, bago, patorani, pajala, padewakang palari, pangkur, dan sandeq.
Perahu tradisional lain yang cukup dikenal adalah Lancang Kuning. Perahu Lancang Kuning umumnya berbentuk panjang, rendah, dan ramping. Tiangnya disebut Tiang Agung dan Tiang Cantel.Â
Pada bagian buritan terdapat rumah-rumahan yang disebut Magun. Lancang sendiri bermakna melaju kencang dan kuning sebagai simbol daulat dan harkat martabat.Â
Perahu Lancang Kuning dikenal luas oleh masyarakat Melayu Riau sejak beberapa abad lalu. Fungsi awalnya untuk kendaraan resmi para raja dan sebagai perahu komando dalam angkatan laut kerajaan.
Bagi para nelayan, laut menjadi sumber penghasilan utama. Maka pada saat-saat tertentu mereka menyelenggarakan pesta laut atau petik laut, sebagai rasa syukur atas rezeki yang mereka peroleh dari laut. Biasanya dalam sedekah laut para nelayan melarung sesaji ke tengah laut lepas.
Pembuatan perahu dari sebatang pohon ditunjukkan oleh dua orang Papua di luar tempat pameran. Dengan pakaian tradisional mereka melobangi bagian tengah pohon dengan pahat dan palu. Karena hanya berupa demonstrasi, batang yang digunakan tidak terlalu besar.
Pameran perahu tradisional Nusantara berlangsung hingga 22 Desember 2019. Pameran ini terbilang jarang. Untuk itu silakan kunjungi Museumn Bahari. Cukup membayar karcis masuk Rp 5.000, teman-teman bisa melihat pameran tetap sekaligus pameran temporer.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H