Kedutaan Besar Australia bekerja sama dengan Asosiasi Museum DKI Jakarta Paramita Jaya, Kamis, 14 November 2019, menyelenggarakan lokakarya bertajuk "Merancang Kegiatan Museum".
Kegiatan diselenggarakan di Museum Nasional dengan pembicara Kevin Sumption, Direktur dan CEO Australian National Maritime Museum, Sydney.
Kevin memiliki pengalaman internasional dan mengkhususkan diri pada pengembangan lanskap digital pada institusi budaya selama lebih dari 20 tahun, yang meliputi manajemen museum, kurasi pameran, pengembangan program, warisan maritim, dan konten budaya digital.
Menurut Kevin, museumnya hampir selalu berpusat kepada pengunjung karena pengunjung sudah cerdas. Bahkan mereka mengetahui apa yang orang museum belum ketahui. Untuk museumnya, Kevin mengategorikan empat hal penting yang harus dimiliki.
Immersive, yakni masuk ke dalam sejarah. Misalnya pengunjung diperbolehkan menyentuh, bahkan merasakan masuk ke dalam kapal selam, dan sebagainya. Ada lagi surprising atau penuh kejutan.
Artinya orang sudah punya gagasan berdasarkan pengalaman mereka di museum maritim lain. Selanjutnya authentic, artinya kita semua bekerja dengan pengalaman otentik.
Menjadi penting kita berkomitmen pada pendidikan yang tidak bertumpu pada digitalisasi. Itulah sebabnya, kata Kevin, pengunjung harus bisa menyentuh atau merasakan koleksi, yang tidak akan ditemui di dunia digital.
Pilar keempat personal, memungkinkan pengunjung merancang pengalaman pribadi. Contoh empat pilar ini adalah program misteri pembunuhan di laut. Dari data diketahui pada kedalaman 132 meter ada kapal penghancur dari Perang Dunia ke-2.
Menurut Kevin, selain empat pilar, museumnya memiliki struktur narasi induk. Jadi museum mengembangkan narasi induk dengan tema utama tentang laut. Misalnya rahasia laut oleh para arkeolog. Pihaknya pernah melakukan kerja sama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional di Selat Sunda untuk preservasi.
Museumnya juga mengembangkan bidang baru, yakni pengetahuan tentang minyak, gas, dan konservasi di laut. Seni dan budaya laut tidak boleh dilupakan. Museumnya meminta seniman merespon laut sebagai katalis inspirasi. Pengunjung biasanya dibawa untuk mengetahui penghuni dan pendatang baru di Australia. Masyarakat maritim seperti mereka merupakan tema penting.
Bahkan museumnya menggunakan drone di dalam laut. Pengunjung bisa memainkannya. Dampaknya pengunjung berapresiasi terhadap laut sehingga laut mengalami pemulihan. Juga meningkatkan kualitas perairan. Dengan demikian memberi akses ke teknologi baru yang tidak bisa diakses di rumah.
Pelaksanaan pameran, kata Kevin, sangat penting. Tahun lalu museumnya mengadakan 20 pameran temporer dan dikunjungi lebih dari dua juta orang. Padahal pameran tersebut berbayar, artinya pengunjung harus merogoh kocek. "Membangun pameran temporer untuk menjalankan misi pendidikan. Kami memperoleh pemasukan sekitar 35 milyar rupiah," jelas Kevin.
Pengunjung museum maritim boleh dibilang terbagi tiga jenis, yakni masyarakat Sydney, masyarakat luar Sydney, dan turis mancanegara. Ternyata dari golongan turis mancanegara, pengunjung Indonesia merupakan nomor lima terbanyak.
Museum juga menyediakan progaram publik. Pengalaman menunjukkan lama kunjungan 3,5 jam terbagi atas melihat pameran, makan, dan program publik. Umumnya yang berkunjung adalah keluarga.
Salah satu kegiatan yang diminati berupa kegiatan berbasis ilmiah dengan sutradara James Cameroon. Ia dikenal lewat film Titanic. Tur pelabuhan Sydney untuk mengetahui masyarakat asli dan budaya Aborigin juga diminati pengunjung.
Untuk anak-anak, program yang menarik adalah menyentuh kulit ikan hiu dan gigi ikan hiu. Selain itu melihat apa yang ada di balik layar.
Kata Kevin, museum harus dibuat menarik. Kompetitor museum adalah restoran dan tempat hiburan, bukan museum. Yang tidak boleh dilupakan, petugas museum harus ramah, toilet bersih, dan tersedia tempat makan yang hieginis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H