Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mitologi Diperlukan untuk Menjaga Eksistensi Setiap Masyarakat

22 Oktober 2019   21:15 Diperbarui: 22 Oktober 2019   21:30 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beberapa karya seni yang bertema mitos (DokprI)

Program publik Museum Basoeki Abdullah silih berganti diadakan untuk kepentingan masyarakat. Setelah pameran dan lomba lukis, kini seminar dengan tema "Rekontekstualisasi Mitos di Era Digital".

Seminar itu diselenggarakan pada Selasa, 22 Oktober 2019. Tampil sebagai pembicara Ibu Aprina Murwanti, Pak Rhino Ariefiansyah, dan Pak Restu Gunawan dengan moderator Pak Imam Muhtarom.

Menurut Pak Rhino mengutip pernyataan Rosenberg, mitos melambangkan pengalaman manusia dan mewujudkan nilai-nilai spiritual suatu kebudayaan. Setiap masyarakat melestarikan mitosnya, karena kepercayaan dan pandangan dunia yang ditemukan di dalamnya sangat penting untuk keberlangsungan kebudayaan itu.

Mitos tentu saja bisa dilihat dari berbagai perspektif ilmu pengetahuan. Menurut sejarawan Eliade, mitos sering kali merupakan kisah asal-usul, bagaimana dunia dengan segala isinya terujud dan terdefinisikan dalam waktu.

Lain lagi psikolog Freud. Ia mengatakan kadang-kadang mitos adalah mimpi publik, yang seperti mimpi pribadi, muncul dari pikiran bawah sadar. Sedangkan menurut Jung, mitos sering mengungkapkan archetype (pola dasar) dari ketidaksadaran kolektif.

Mengapa perlu mitos? Menurut Pak Rhino, dari perspektif sosiologis, mitologi diperlukan untuk menjaga eksistensi setiap masyarakat. Kebutuhan untuk membuat aturan dan menerapkan perilaku yang dapat diterima, mendorong penciptaan cerita mitologis untuk memberikan motivasi dalam rangka mendorong keteraturan dan kohesi sosial.

Dari kiri Bu Aprina, Pak Rhino, Pak Restu, dan Pak Imam (Dokpri)
Dari kiri Bu Aprina, Pak Rhino, Pak Restu, dan Pak Imam (Dokpri)
Digital
Bu Aprina, pengajar di UNJ dan juga staf Museum MACAN menyampaikan makalah berjudul "Museum Seni di Era Digital: Menjangkau Masyarakat dengan Konten dan Teknologi".

Katanya, dalam era digital, kemudahan akses dan informasi memberikan alternatif metode edukasi dan rekreasi maya bagi masyarakat. Fisik museum menjadi semakin jauh dengan masyarakat karena semua informasi seakan-akan bisa diraih dengan perangkat digital dari rumah masing-masing.

"Teknologi dapat menjadi platform yang bermanfaat untuk menjangkau generasi milenial, generasi Z, dan generasi alpha untuk terlibat aktif sebagai pengunjung maupun kontributor dalam perkembangan museum seni," demikian kata Bu Aprina.

Penelitian yang dilakukan Beer pada 1987 ini boleh dibilang menarik. Kata Beer, pengunjung museum hanya menghabiskan kurang dari satu menit dalam menikmati setiap koleksi di museum. Malah pengunjung generasi Z dan alpha memiliki konsentrasi dan toleransi yang lebih rendah.

Para peserta seminar (Dokpri)
Para peserta seminar (Dokpri)
Marhaen
Pak Restu bercerita tentang mitos marhaen. Dikabarkan, Marhaen seorang petani yang dijumpai Bung Karno pada 1926-1927. Ia yang mempunyai alat-alat pertanian dan lahan pertanian, hanya mampu menghasilkan produksi untuk kebutuhan hidup keluarganya. Pada masa berikutnya, istilah marhaen mengacu kepada rakyat kecil Indonesia yang hidupnya tertindas.

Selanjutnya Pak Restu menyinggung mitos Nyai Loro Kidul dan bercerita tentang negara maritim sebagaimana tergambar pada bentuk kapal di relief candi. "Kalau sekarang masih dipakai kapal itu, tentu tidak akan tahan terhadap gempuran ombak. Harus ada pembaruan teknologi," kata Pak Restu. Tentang koleksi di museum seni, Pak Restu berharap adanya informasi di balik lukisan itu.

Seminar dibuka oleh Ketua Asosiasi Museum Indonesia DKI Jakarta "Paramita Jaya" Pak Yiyok T. Herlambang. Sebelumnya laporan penyelenggaraan seminar disampaikan oleh Kepala Museum Basoeki Abdullah Ibu Maeva Salmah. Seminar diikuti masyarakat umum, yang terdiri atas komunitas, pelajar, guru, dan pemerhati seni.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun