Nama Sriwijaya mencuat setelah Babe Ridwan Saidi mengatakan nama itu hanyalah dongeng belaka alias fiktif. Bahkan dikatakan bajak laut dari Koromandel.Â
Sontak pendapat tersebut menuai reaksi, terutama dari para sejarawan dan arkeolog. Tidak heran Babe Ridwan 'mendapat panggung' di berbagai media.
Ia menganggap Sriwijaya nama seorang raja. Sejak itulah Sriwijaya dibicarakan banyak pakar dari sejumlah negara. Banyak sumber sejarah pun telah memperkaya tafsiran akan Sriwijaya.Â
Selain prasasti, sumber lain adalah Berita Tiongkok dan Berita Arab. Data lain berupa temuan-temuan arkeologi di Palembang dan sekitarnya.
Pada 1960 Slamet Muljana mengeluarkan sebuah buku berjudul Sriwijaya. Buku karyanya itu diterbitkan ulang oleh LKiS pada 2006. Kajian Muljana berdasarkan pendekatan filologis. Ia menggunakan sumber-sumber asing yang kadang terlalu singkat dan kabur. Juga disangsikan kebenarannya karena bukan berasal dari tangan pertama.Â
"Bagaimanapun, harus diakui bahwa ilmu sejarah Sriwijaya adalah penemuan Coedes dan lahir dari kecerdasannya dalam menggunakan hasil penyelidikan sarjana-sarjana lainnya," demikian Muljana.
Dalam bukunya itu Muljana membahas sembilan topik, yakni Ikhtisar penulisan sejarah Sriwijaya, Pendidikan I-ts'ing, Lokalisasi tempat-tempat dalam perjalanan I-ts'ing, Pusat kerajaan Sriwijaya, Sriwijaya dan semenanjung, Rajakula Sailendra di Jawa Tengah, Sriwijaya di bawah kekuasaan Rajakula Sailendra, Kerajaan San-fo-ts'i, dan Runtuhnya kerajaan Sriwijaya.
Meskipun Muljana (1929-1986) merupakan Doktor Sejarah dan Filologi dari Belgia (1954), namun ada pendapatnya yang dipandang kontroversial. Misalnya tentang Rakai Panangkaran sebagai anggota keluarga Syailendra yang telah mengalahkan keturunan Sanjaya. Sebaliknya pendapat umum mengatakan Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya yang menjadi bawahan Syailendra. Â