Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kerajaan Sriwijaya Muncul Abad ke-7, Jadi Bukan Fiktif Seperti Kata Kong Ridwan

30 Agustus 2019   17:15 Diperbarui: 30 Agustus 2019   18:16 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku-buku tentang Sriwijaya (Dokpri)

Kalau mau cepat dikenal, buatlah pernyataan yang kontroversial. Beberapa tahun lalu ada 'ilmuwan' yang menyatakan Candi Borobudur dibangun oleh Nabi Sulaiman. Sontak pendapatnya ramai dibicarakan. Meskipun tulisannya berbau mitos dan dongeng, namun tetap saja banyak orang  percaya.

Ada lagi pendapat adanya beberapa gerbong emas di Gunung Padang. Semuanya bisa untuk membayar hutang negara. Ini pun ramai diperbincangkan sehingga didengar tim khusus kepresidenan dan jadilah proyek cari duit.

Beberapa hari lalu, muncul pendapat dari Bapak Ridwan Saidi yang menyatakan Kerajaan Sriwijaya hanya dongeng atau fiktif. Tidak ada jejaknya di Nusantara, katanya lagi. Bahkan Sriwijaya hanya sebatas kelompok bajak laut dari Koromandel. Pendapat engkong atau babe itu ditayangkan dalam dua video.

Karena ada media sosial, video tersebut menjadi viral. Mungkin telah diakses lebih dari 100.000 kali. Padahal, untuk video sejenis yang berkategori 'waras' diakses 1.000 kali pun sudah termasuk luar biasa.

Banyak arkeolog dan sejarawan tidak menerima 'teori' tersebut.  Engkong dianggapnya lagi 'pikun'. Apalagi ia tidak berkapasitas sebagai peneliti sejarah Palembang. Entah atas dasar apa engkong berpendapat begitu.

"Jelas ngawur, sebuah temuan harus diuji oleh forum ilmuan sebidang agar ada pengakuan, tidak bisa asal berpendapat," kata Farida, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Sumatera Selatan.  Begitu saya kutipkan sepenggal berita dari www.cnnindonesia.com.

Kecaman juga datang datang dari Retno Purwanti, arkeolog dari Balai Arkeologi Sumatera Selatan. Apalagi engkong berpendapat Prasasti Kedukan Bukit, salah satu sumber utama Sriwijaya, ditulis menggunakan bahasa Armenia. Padahal, prasasti tersebut beraksara Palawa dan berbahasa Melayu Kuno. 

Pertanggalannya 604 Saka atau identik dengan 682 Masehi.  Prasasti antara lain menyebutkan seorang bernama Dapunta Hyang yang berangkat dari Minanga Tamwan naik perahu bersama bala tentara, kemudian tiba di Matayap, dan akhirnya membangun kota Sriwijaya setelah berhasil menaklukkan beberapa daerah. Demikian informasi dari Kamus Arkeologi Indonesia 2, 1985.

[Lihat Prasasti Kedukan Bukit di sini... sumber 1]

Engkong menuding kebanyakan peneliti sejarah dan arkeologi salah dan ngelantur memahami aksara dan bahasa dalam prasasti. Hehehe...rupanya engkong ahli epigrafi nih.

Alih aksara dan terjemahan Prasasti Kedukan Bukit (Foto: BPCB Jambi)
Alih aksara dan terjemahan Prasasti Kedukan Bukit (Foto: BPCB Jambi)
Temuan prasasti

Hampir tidak diragukan lagi Palembang pernah menjadi lokasi pusat Kadatuan Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi. Sebagian besar prasasti batu dari abad ke-7---8 Masehi ditemukan di Palembang. Selain itu ditemukan 30 prasasti pendek di sekitar Telaga Batu, Sabokingking di Palembang Bagian Timur.

Penggalian arkeologis, sebagaimana buku Ekspedisi Sriwijaya (Balai Arkeologi Palembang, 2010), dilakukan pada 1974, dilanjutkan secara intensif pada 1986-1992 oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. 

"Sebagian besar situs tersebar di sepanjang Sungai Musi sampai jarak lima kilometer dari tepi sungai. Konsentrasi aktivitas zaman Sriwijaya terdapat di daerah Bukit Seguntang, Karanganyar, dan kawasan Sabokingking-Gedingsuro," demikian arkeolog Nurhadi Rangkuti.

Seingat saya, engkong sering memberikan pendapat yang nyeleneh. Beberapa tahun lalu, ia pernah mengritik soal ulang tahun Jakarta 22 Juni. Menurut engkong, seharus 3 September saat Jakarta ditetapkan sebagai Kota Praja pada 3 September 1945 oleh Bung Karno.

Buku-buku tentang Sriwijaya (Dokpri)
Buku-buku tentang Sriwijaya (Dokpri)
Memang yang saya tahu, hasil 22 Juni merupakan 'hitungan' dari Prof. Hoesein Djajadiningrat. Nama Jayakarta diberikan pada 22 Juni 1527. Sebaliknya Prof. Soekanto berpendapat dalam bukunya Dari Jakarta ke Jayakarta (1954), perubahan nama Jayakarta dilakukan pada 17 Desember 1526. Sayang sudah ada keputusan politis bahwa Jakarta lahir pada 22 Juni 1527.

Menurut engkong, pada 22 Juni 1527 pasukan gabungan Kesultanan Demak dan Cirebon memerangi bangsa Portugis sekaligus membantai penduduk asli Sunda Kalapa, yakni orang-orang Betawi. 

Sebenarnya yang saya baca, nama Jakarta dikenal pada zaman pendudukan Jepang. 'Saudara tua' kita itu berusaha membuang segala hal yang berbau Belanda. Lalu menggantinya dengan istilah Indonesia atau Jepang. 

Saya pernah baca iklan kecil pada koran lama bahwa pemerintah Jepang memberi maklumat mulai 8 Desember 1942 nama Batavia diubah menjadi Jakarta Tokubetsu Shi. Tanggal itu diambil dari perayaan Hari Perang Asia Timur Raya. Informasi demikian saya peroleh juga dari buku Jakartaku, Jakartamu, Jakarta Kita (Lasmijah Hardi, 1987).

Buku-buku tentang Sriwijaya (Dokpri)
Buku-buku tentang Sriwijaya (Dokpri)
Batujaya

Sekali waktu engkong pernah berceloteh bahwa kerajaan tertua di Jawa Barat bukan di Batujaya tapi bernama Salakanagara. Salakanagara berdiri pada abad ke-2, sementara situs Batujaya diperkirakan berasal dari abad ke-3 atau ke-4. 

"Pendapat Hasan Djafar itu salah," katanya yakin. Namun klaim Salakanagara lemah karena tidak ada bukti fisik. Yang ada hanya berupa catatan perjalanan dari Tiongkok. Sebaliknya di situs Batujaya dan sekitarnya ditemukan beberapa candi bata dan artefak Buddha lain.

Sungguh disayangkan kalau generasi milenial dan masyarakat awam disesatkan oleh pendapat yang tidak berdasar. Untuk itu arkeolog dan sejarawan harus banyak menulis populer. Ini untuk memberi pemahaman kepada masyarakat awam akan berita-berita hoaks.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun