Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Toleransi Beragama di Ranah Minang Kuno

23 Agustus 2019   09:08 Diperbarui: 23 Agustus 2019   09:15 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ngobrol @tenpo soal Sejarah Dharmasraya (Dokpri)

Festival Pamalayu yang diadakan oleh Pemerintah Kabupaten Dharmasraya resmi dimulai. Acara tersebut diluncurkan di Museum Nasional pada Kamis, 22 Agustus 2019. 

Kabupaten Dharmasraya terletak di Provinsi Sumatera Barat. Tanggal 22 Agustus dipilih karena Ekspedisi Pamalayu dalam sejarah kuno Indonesia pada 22 Agustus 1286.  

Kegiatan akan berakhir pada 7 Januari 2020 bertepatan dengan ulang tahun ke-16 Kabupaten Dharmasraya. Ada berbagai acara dalam kegiatan itu, yakni lomba fotografi, menulis, lokakarya warisan budaya, dan pesta rakyat.

Pembukaan Festival Pamalayu dihadiri oleh Bupati Dharmasraya Sutan Riska Tuanku Kerajaan, Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid, Kepala Museum Nasional Siswanto, dan sejumlah undangan. 

Acara yang turut disponsori oleh Tempo Media Group ini, kemudian menghadirkan acara Ngobrol@tempo bertema Menyingkap Tirai Sejarah Dharmasraya dengan pembicara Hilmar Farid, Bambang Budi Utomo, dan Wenri Wanhar. Sebagai moderator Tomy Aryanto dari Tempo.

Arkeolog Bambang Budi Utomo diwawancara wartawan (Dokpri)
Arkeolog Bambang Budi Utomo diwawancara wartawan (Dokpri)
Penaklukan

Beberapa sumber menyebutkan Ekspedisi Pamalayu dilakukan oleh Kerajaan Singasari di Pulau Jawa menuju Kerajaan Malayu di Dharmasraya sebagai negeri emas. 

Ekspedisi itu disebutkan sebagai upaya penaklukan Singasari atas Dharmasraya. "Kami sebagai generasi muda merasa ada yang aneh dengan istilah penaklukan tersebut," kata Pak Bupati.

Kalau memang penaklukan, mungkinkah mereka membawa hadiah Arca Amoghapasa untuk Raja Malayu Dharmasraya? Padahal, Arca Amoghapasa adalah perlambang kasih sayang. 

Kalau memang penaklukan, mungkinkah Singasari membawa dua putri raja Dharmasraya, Dara Petak dan Dara Jingga yang kemudian menjadi istri Raja di Pulau Jawa, begitu pertanyaan Pak Bupati.

Saat ini Arca Amoghapasa terdapat di Museum Nasional. Arca itu dihadiahkan Raja Kertanegara dari Singasari kepada Raja Malayu di Dharmasraya. Arca tersebut ditemukan di Sungai Langsat, daerah hulu Batanghari. Pada arca terdapat beberapa tulisan kuno (prasasti). 

Pada bagian lapik terdapat tulisan 1208 Saka, identik 1286 Masehi. Dikatakan Raja Kertanegara memerintahkan pemindahan arca Buddha Amoghapasa dari Bhumijawa ke Suwarnabhumi untuk ditempatkan di Dharmasraya. Pemberian hadiah itu membuat seluruh rakyat Suwarnabhumi bergirang hati, terutama sekali rajanya, Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa. 

Demikian informasi dari Kamus Arkeologi Indonesia 2 halaman 7, 1979. Prasasti Amoghapasa kadang disebut Prasasti Padang Roco, kadang Prasasti Dharmasraya. Arca Amoghapasa berbahan batu andesit, memiliki ukuran tinggi 163 sentimeter dan lebar 97-139 sentimeter.

Berbicara Dharmasraya, di Museum Nasional ada lagi arca setinggi hampir 4,5 meter. Dikenal sebagai arca Bhairawa, konon perwujudan Raja Adityawarman yang menganut aliran Tantrayana.  

Adityawarman adalah salah seorang pangeran dari Kerajaan Dharmasraya yang pernah mengabdi ke Majapahit sebagai wrddha-mantri. Setelah kembali ke Sumatera bagian barat, ia kemudian menjadi penguasa di sana pada abad ke-14.

Arca Amoghapasa di Museum Nasional (Foto: kebudayaan.kemdikbud.go.id)
Arca Amoghapasa di Museum Nasional (Foto: kebudayaan.kemdikbud.go.id)
Ekspedisi

Soal kata 'ekspedisi' Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan, "Kita perlu melihat kembali peristiwa bersejarah dalam sejarah kita dengan cara pandang yang mungkin berbeda dari apa yang selama ini kita kenal." Ia mencontohkan di Belanda ada nama jalan yang memakai tokoh Indonesia. 

Masyarakat di sana ada yang setuju, ada yang menolak. Tentang keinginan Pak Bupati untuk menambahkan caption Dharmasraya pada koleksi di Museum Nasional, Pak Hilmar dan Pak Siswanto akan menindaklanjutinya.

Menurut Pak Bambang Budi Utomo dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, arkeologi berangkat dari data, bukan cerita. Pak Bambang beberapa kali melakukan ekskavasi atau penelitian arkeologi di sana. Di Dharmasraya, kata Pak Bambang, pernah ditemukan keramik Tiongkok dari abad ke-10. 

Berarti permukiman sudah ada sejak abad ke-10. "Permukiman tersebut dapat dikategorikan kota karena mengenal perdagangan dan tulisan," kata Pak Bambang.

Tentang arca Bhairawa, menurut Pak Tommy---demikian sapaan akrabnya---kemungkinan memang dibawa dari Jawa. Soalnya batu-batu sejenis tidak ditemukan di Dharmasraya. Arca itu dibawa lewat Sungai Batanghari pada awal musim hujan. "Mungkin Agustus itu awal musim hujan. Soalnya kalau musim kemarau sungainya dangkal," kata Pak Tommy.

Pak Tommy juga menyinggung Prasasti Pagarruyung dan Prasasti Saruaso yang berkenaan dengan Raja Adityawarman. Dalam prasasti disebutkan pembangunan wihara, namun sisa-sisanya sampai kini belum ditemukan. Temuan keramik kuno di Tanah Datar juga langka, padahal keramik merupakan artefak bertanggal mutlak.

Arca Bhairawa di Museum Nasional (Foto: kebudayaan.kemdikbud.go.id)
Arca Bhairawa di Museum Nasional (Foto: kebudayaan.kemdikbud.go.id)
Cocoklogi

Menurut peneliti sejarah Wenri Wanhar, berbagai bukti menunjukkan bahwa ekspedisi Pamalayu  memang digelar untuk persahabatan., bukan penaklukan. 

Bukti kebesaran Kerajaan Dharmasraya, menurut Wenri, juga tersimpan dalam naskah kuno Tanjung Tanah yang disimpan di Kerinci. Naskah itu adalah Kitab Niti Sarasamuchaya yang merupakan undang-undang yang berlaku zaman Kerajaan Dharmasraya berkuasa. Usia naskah tersebut sekitar 600 tahun.

Pak Wenri seakan 'menyalahkan' N.J. Krom yang memulai narasi 'penaklukan' tersebut.   Pendapat banyak ahli di zaman penjajahan Belanda tersebut, menurut Pak Wenri, banyak yang tidak cocok dengan konteks orang Indonesia. 

Ia menyebutkan bunga bangkai yang ditemukan oleh Raffles sehingga dinamakan Raflesia.  Namun Pak Wenri juga menyelipkan 'cocoklogi' tentang nama-nama wilayah Damo, dhamma yang berarti cahaya, damar, dan Ario Damar.

Dalam sesi tanya jawab, seorang penanya baru mengetahui bahwa di ranah Minang kuno sejak lama terjadi toleransi beragama. "Ini penting diketahui generasi sekarang dan mendatang supaya tidak ada kafir-kafiran atau surga dan neraka," katanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun