Akhir April 2019 lalu Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meresmikan pasar buku Jakbook. Namanya keren. Â Pasar buku ini terletak di lantai 3 Pasar Kenari yang dikelola PD Pasar Jaya. Cuma beberapa langkah dari kampus UI Salemba, Jakarta Pusat.
Para pedagang buku sebagian besar berasal dari Kwitang dan Senen. Dua tempat ini merupakan surga buku bekas dan pernah dituding sumber buku bajakan.Â
Buku-buku baru dan bekas diperdagangkan di Jakbook. Kabarnya buku-buku dijual dengan harga murah supaya terjangkau masyarakat yang cinta literasi.
Jakbook dilengkapi fasilitas pendingin udara, tempat duduk, komputer, bahkan arena bermain anak-anak. Tentu lebih nyaman dibandingkan kalau kita nongkrong di kaki lima, sebagaimana diutarakan para pedagang.Â
Namun beberapa bulan setelah pengoperasian, suasana sepi pembeli masih terjadi di sana. Justru penghasilan para pedagang lebih besar di emperan.Â
Padahal, PD Pasar Jaya masih menggratiskan sewa kios. Pedagang cuma membayar biaya operasional sehari-hari. Beberapa hari lalu keluhan para pedagang itu viral dalam media sosial.Â
Seingat saya, Jakbook merupakan pasar buku keempat yang ada di Jakarta. Pada 1980-an saya pernah membeli buku di Pusat Buku Jakarta (PBJ). Pasar buku ini berlokasi di Proyek Senen Blok B lantai 3.Â
Banyak buku baru dijual di sini. Dulu Proyek Senen amat dikenal. Di bawah, di dekat pasar, masih ada pedagang buku bekas. Juga di Lapangan Banteng, yang pernah beroperasi sebagai terminal.
Entah sejak kapan PBJ hilang dari Proyek Senen. Mungkin sejak kebakaran. Mungkin juga pedagang mundur satu per satu karena sepi pembeli.
Setelah PBJ, muncul lagi Jakarta Book Center (JBC) di Mal Kalibata. Saya lupa persisnya kapan JBC berdiri. Berhubung saya menjadi jurnalis yang berkantor di Jalan Dewi Sartika, Cawang, saya sering ke JBC pada 1990-an. Buku-bukunya tergolong murah. Tentu saja kadang sekalian makan siang di sana. Dikabarkan JBC tutup pada 2011. Â
Pada awalnya ada 258 toko dan penerbit anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI). Cita-citanya pun muluk, seperti memberikan harga murah, meningkatkan minat baca, dan menurunkan pajak kertas. Saya beberapa kali ke PBI. Maklum, rumah saya cukup dekat ke sana. Biasanya saya memakai sepeda.
Awal 2011 PBI terlihat mulai sepi. Mungkin karena pedagang komputer yang tadinya menempati lantai 2 pindah ke ITC Cempaka Mas. Lama-kelamaan terlihat tidak ada lagi aktivitas di lantai 3 itu.
Rupanya ada beberapa kendala membuka toko buku. Â Menurut pengalaman, kedua anak saya dari SD hingga SMA selalu membeli buku lewat sekolah.Â
Jelas, penerbit langsung menjual ke sekolah. Pasti dengan komisi lumayan untuk kesejahteraan para guru. Ironisnya, buku-buku yang dipakai cepat sekali berganti. Paling-paling 1-2 buku yang bisa dipakai sang adik, padahal cuma beda dua kelas dan pada sekolah yang sama.
Hadirnya toko-toko buku besar juga menghancurkan pedagang kecil. Bahkan kini dengan kemajuan teknologi, transaksi bisa dilakukan lewat internet.Â
Selain itu banyak buku sudah dibuat dalam bentuk digital atau PDF. Kini banyak pedagang buku bekas menjajakan barang lewat media sosial.
Pemilik toko buku kecil dan keluarganya tentu butuh penghasilan. Menurut saya, buku-buku dalam bentuk fisik tetap diperlukan. Mari kita galakkan gerakan literasi.Â
Membaca, menulis, melihat dunia, sekaligus mencerdaskan. Rasanya toko buku perlu dipadupadankan dengan restoran, kafe, atau aktivitas masyarakat yang murah meriah.