Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Kenangan Nonton Bioskop Zaman Dulu

13 Agustus 2019   10:12 Diperbarui: 13 Agustus 2019   10:35 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada 1970-an sarana hiburan di Jakarta masih relatif sedikit. Buat anak-anak, paling ada komidi putar atau orang sering menyebutnya korsel. 

Itu pun hanya sekali-sekali. Biasanya mereka menggunakan tanah lapang. Ketika itu di Jakarta masih banyak tanah kosong yang cukup luas.

Buat para remaja, nonton bioskop sering menjadi pilihan. Di Jakarta pada masa itu sudah banyak bioskop dengan berbagai tipe, dari yang sederhana sampai mewah. 

Yang sederhana biasanya terdapat di wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Utara. Uniknya, pada masa itu bioskop kelas rakyat jelata disebut misbar. "Gedung" bioskop itu terbuat dari bilik atau anyaman bambu dan tidak mempunyai atap. 

Maka kalau gerimis atau hujan, sering kali penonton membubarkan diri. Misbar berarti gerimis bubar. Harga karcisnya seragam. Mau duduk di depan atau belakang harganya tetap sama. Kursi pada bioskop misbar hanya terbuat dari papan panjang.

Yang agak mahalan terdapat di wilayah Pasar Baru hingga Jakarta Kota. Ada perbedaan harga tiket pada bioskop kelas menengah dan atas itu. Biasanya dibedakan atas kelas loge dan kelas stalles. 

Loge di bagian belakang, sementara stalles di bagian depan. Kalau kebetulan kebagian duduk paling depan, maka melihat gambar film harus mendongak. 

Bisa-bisa leher kita akan pegal. Stalles sering diolok-olok kelas kambing. Pada bioskop kelas atas, selain loge dan stalles ada balkon. Kemudian istilah-istilah itu diganti kelas 1, 2, dan 3.

Tukang catut

Dulu boleh dibilang ada 'diskriminasi' dalam pemutaran film. Film Barat diputar di bioskop ini dan film Indonesia diputar di bioskop itu. 

Seingat saya, film India diputar di bioskop Rivoli (Jalan Kramat Raya) dan Nasional (depan Gedung Kesenian Jakarta Pasar Baru). Bioskop Nusantara di Jatinegara boleh dibilang memutar beragam film. Saya pernah nonton film cowboy Django di sini. Juga film komedi yang dibintangi Bing Slamet dan Ateng.

Untuk film-film Hongkong bergenre silat klasik yang memakai pedang atau kungfu, saya nonton di bioskop Cathay di Jalan Gunung Sahari. 

Dulu rumah saya di Jatinegara, jadi untuk menuju Cathay saya naik oplet Jurusan Jatinegara-Kota. Seingat saya, dulu bentuk bangunannya unik. 

Nama Cathay sendiri yang berbau Barat pernah berubah menjadi Karya. Namun mungkin karena 'kurang sajen' bioskop sepi pengunjung. Jadi berubah lagi menjadi Cathay.

Dulu kalau Cathay memutar film-film box office, hampir selalu ada tukang catut. Saya lupa berapa harga karcis waktu itu. Pokoknya kalau film-filmya dibintangi Wang Yu, Ti Lung, dan David Chiang penonton pasti membludak. Biasa, di mana ada kesempitan di situ ada kesempatan.

Kalau tidak salah anggota ABRI mendapat fasilitas khusus. Nah terjadilah kerja sama antara ABRI dengan tukang catut.

Karcis bioskop zaman dulu (Foto: today.line.me)
Karcis bioskop zaman dulu (Foto: today.line.me)
Kursi rotan

Hampir semua bioskop menggunakan kursi kayu atau kursi rotan. Setelah membeli karcis, penonton akan dipandu oleh petugas untuk mendapatkan tempat duduk sesuai nomor pada tiket. Biasanya si petugas membawa lampu senter. Maklum ruangan dalam dibuat temaram.

Sebelum pemutaran film, ada pemutaran thriller untuk pertunjukan mendatang. Begitu film mau diputar, lampu digelapkan total. Biasanya lama pemutaran film sekitar satu jam 30 menit.

 Pada awalnya di tengah pemutaran ada masa jeda sekitar lima menit, Biasanya penonton memanfaatkan waktu ke kamar kecil.  

Pada hari biasa, pertunjukan dilakukan tiga kali, yakni sekitar pukul 14.00, 17.00, dan 19.00. Pada malam Minggu ditambah dengan midnight show pukul 24.00. 

Maklum untuk anak muda yang sedang berpacaran atau pengantin baru. Sementara setiap Minggu ditambah dengan pertunjukan pagi yang disebut matinee show. Biasanya bioskop memutar film anak-anak sekitar pukul 10.00.

Seiring semakin banyak hiburan, jumlah bioskop semakin menurun. Namun kemudian menanjak lagi dengan masuknya manajemen modern yang berlabel twenty one atau XXI. 

Sayang sejak munculnya Video Cassette Recorder, Video Compact Disc, dan Digital Video Disc, banyak bioskop tutup dan gedungnya dibongkar. 

Seperti bioskop Cathay di Jalan Gunung Sahari, mungkin saat ini menjadi Pusat Pertokoan atau Gedung Golden Truly. Seingat saya dulu lokasinya tidak jauh dari belokan ke Jalan Pasar Baru.

Bioskop terdesak lagi sejak kehadiran media internet. Banyak film bisa disaksikan lewat youtube dan beberapa lama lain. Kenangan masa lalu memang sukar dilupakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun