Sejak beberapa tahun terakhir, kebudayaan sudah dipandang menjadi bagian penting dari kearifan lokal sebuah daerah. Maka beberapa pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kota membentuk Dinas Kebudayaan, yang terpisah dari dinas-dinas lain.
Sebelumnya Dinas Kebudayaan menjadi bagian atau bergabung dengan Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan, Dinas Pemuda dan Olahraga, bahkan dengan Dinas Perhubungan.
Sebenarnya impian untuk memiliki Kementerian Kebudayaan sudah ada sejak lama. Ketika itu kita memiliki Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan.Â
Dalam Musyawarah Kebudayaan 31 Desember 1945 di Sukabumi, para pendiri bangsa, budayawan, seniman, dan cendekiawan memberikan rekomendasi agar pemerintah secepatnya mewujudkan Kementerian Kebudayaan, yang lepas dari Pendidikan dan Pengajaran. Usul serupa juga disampaikan pada Kongres Kebudayaan 1948 (Nunus Supardi, 2011).
Menurut data UNESCO, yakni organisasi PBB yang membidangi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan di seluruh dunia ada lebih dari 60 negara yang memiliki Kementerian Kebudayaan.
Beberapa negara pecahan Uni Soviet dan Yugoslavia sudah langsung membentuk Kementerian Kebudayaan di awal pendiriannya. Justru sekarang mereka maju karena mampu meredam konflik antaretnis di negara masing-masing.
Jika sudah terbentuk Kementerian Kebudayaan, maka yang paling penting diperhatikan adalah sisa-sisa kebudayaan fisik dalam bentuk tinggalan arkeologi. Arkeologi berjalan dari waktu yang jauh ke belakang, ribuan tahun yang lalu.
Arkeologi pun berada pada wilayah yang sangat luas. Kita masih belum tahu apakah di dalam tanah yang kita tinggali ini, di bawah persawahan yang menghijau, atau di tanah negara di atas perbukitan sana masih terdapat tinggalan purbakala atau tidak. Biasanya tinggalan purbakala muncul ke permukaan secara tidak disengaja karena aktivitas warga ketika sedang mengolah tanah.
Aktivitas warga seperti ini sering menimbulkan konflik kepentingan. Kasus Trowulan di Mojokerto yang diduga pernah menjadi pusat Kerajaan Majapahit contoh yang paling aktual.
Sejak 1960-an masyarakat sekitar mencari nafkah lewat pembuatan semen merah, yang bata-bata kunonya diambili dari situs Trowulan. Karena pemerintah tidak ada anggaran untuk merelokasi warga, maka pengrusakan masih berlangsung hingga kini.
Pencurian artefak, penggalian liar atau tanpa izin, penyelundupan barang kuno ke luar negeri, dan penjarahan harta karun dari dalam perairan juga harus menjadi perhatian.