Pagi itu, sekitar pukul 06.20 Pak Barus, begitulah saya dan teman-teman memanggil, mengirim pesan, "Nanti kami pengurus asosiasi numismatik mau silaturahmi ke Museum Nasional sambil melihat koleksi numismatik Museum Nasional. Siapa tahu bisa sambil penjajakan kerja sama dengan Museum Nasional buat bikin suatu acara." Sekitar pukul 09.00 saya meluncur ke sana. Jarak dari rumah saya ke sana memang sekitar satu jam.
Pak Barus cuma saya kenal lewat WA. Ia aktif mengelola Museum Uang Sumatera di Medan. Ia banyak berbagi pengetahuan tentang kenumismatikan di WAG. Â Â
Begitu saya datang, Pak Barus segera menyambut saya. Di situlah pertama kali saya bertemu muka. Pak Barus datang bersama beberapa numismatis, seperti Pak Teddy, Pak Aldy, dan Pak Indra. Beberapa numismatis lain saya lupa namanya, hehehe...
Untuk menunjukkan bahwa kami pernah ke Museum Nasional, kami berswafoto dulu. Gaya anak milenial dong. Di Museum Nasional kami disambut Ibu Nusi dan Ibu Dewi, juga beberapa staf lain. Setelah mengutarakan maksud dan tujuan, kami diajak ke ruang yang memamerkan koleksi numismatik. Mbak Nani, staf Museum Nasional, memandu kami. Mbak Nani sehari-hari menangani beberapa koleksi, satu di antaranya numismatik.
Mbak Nani mengajak kami ke lantai 3. Di beberapa lemari ada sejumlah koleksi. "Wah ini koleksi langka," kata seorang numismatis. Diskusi pun berjalan santai, antara numismatis dengan pengelola museum. Maklum, keduanya memang sama-sama berkenaan dengan koleksi uang.
Selanjutnya kami diajak ke lantai 2. Ada beberapa koleksi koin dan alat cetak uang kuno di tempat itu. Terbuat dari kayu agak panjang. Pak Barus terkagum-kagum, karena museumnya belum memiliki alat cetak uang seperti itu.
Cukup lama kami berada di ruang koleksi. Sesekali diselingi diskusi dan masukan dari para numismatis. Menurut mbak Nani, koleksi numismatik di ruang ini masih sedikit. Nanti di gedung baru koleksi numismatik lebih beraneka rupa.
Mereka usul agar koleksi numismatik dibuat secara kronologis. Dimulai dari yang namanya alat tukar atau alat barter, seperti manik-manik, cangkang kerang, dan batu. Setelah itu masuk ke zaman kerajaan kuno seperti Mataram, Sriwijaya, dan Majapahit. Kemudian zaman kerajaan Islam seperti Samudera Pasai, Sambas, dan Gowa. Selanjutnya uang zaman pra-kemerdekaan dan setelah kemerdekaan.
Beberapa numismatis itu berjanji akan memberikan sumbangan kepada Museum Nasional. Terutama beberapa literatur yang diperlukan mbak Nani untuk menambah pengetahuan.
Para numismatis itu tergabung dalam Masyarakat Numismatik Indonesia (MNI). MNI yang berdiri pada 2018 baru ada di lima kota, dengan jumlah anggota 500, terdiri atas individu dan institusi.
Dunia numismatik Indonesia memang masih tertinggal jauh dibandingkan negara-negara Asia lain. Apalagi dengan negara-negara Eropa dan AS. Museum uang sendiri memang cukup banyak bermunculan. Semoga kita dapat melestarikan berbagai uang daerah, uang kerajaan, dan koleksi lain supaya bisa memberikan informasi kepada anak cucu kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H