Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Tugu Nasional Ada Pintu Berlapis Emas

16 Juli 2019   13:12 Diperbarui: 16 Juli 2019   13:22 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seharusnya tempat Sang Saka (Sumber: Makalah Ibu Yuke)

Pembangunan Tugu Nasional berawal dari pengalaman Presiden Soekarno selama muhibah pada 1956 mengunjungi berbagai bandar udara internasional di negara-negara terkemuka serta suguhan keindahan kotanya. Beliau memiliki keinginan untuk juga memiliki berbagai karya monumen, gedung-gedung bertingkat, fasilitas olah raga, serta bandara internasional yang membanggakan. 

Tekad itu dituangkan ke dalam  persiapan Kota Jakarta sebagai ibu kota Negara ke dalam satu blueprint yang dinamai Djakarta City Planning. Demikian Ibu Yuke mengawali pemaparannya dalam diskusi Mugalemon di Museum Sejarah Nasional di dalam Tugu Nasional, Senin, 15 Juli 2019.

Kemudian Ibu Yuke menyebutkan adanya istilah Panggung Indonesia. Ini metafora, gaya bahasa atau majas untuk menyatakan fenomena Arsitektur Mercusuar yang tergelar pada 'Ruang yang di-Agung-kan' sepanjang koridor jalan utama Ibu kota Negara di Kota Jakarta 1960-an. "Sebagai area presentasi sekaligus representasi untuk melukiskan segala sesuatu tentang Indonesia melalui skenario artistik yang divisualkan berdasar kaidah-kaidah arsitektural," kata Ibu Yuke.

Diorama di dalam Museum Sejarah Nasional (Dokpri)
Diorama di dalam Museum Sejarah Nasional (Dokpri)
Panggung Indonesia
Menurut Ibu Yuke, upaya-upaya penggalian kekhasan Indonesia dilakukan  melalui pemilihan lokasi, orientasi bangunan, pola keruangan, penampilan fisik, tatanan interior, warna, simbol serta nuansa. Dipertunjukkan mulai dari Terowongan, Pelataran Tugu, Cawan Tugu, Museum Sejarah Nasional, Ruang Kemerdekaan, Badan Tugu, Pelataran Puncak Tugu dan Api Kemerdekaan. Berupa produk kesenirupaan mulai dari seni lukis, seni grafis, seni pahat, seni ukir, seni patung realis, seni logam, dan seni bangunan. Demikian kata Ibu Yuke tentang Tugu Nasional.

Ibu Yuke banyak meneliti tentang Tugu Nasional. Ia antara lain menggunakan arsip pribadi RM Soedarsono. Dalam arsip tersebut terekam posisi seharusnya Sang Saka ditempatkan. "Terkait hal ini pada 2014 sudah disampaikan kepada RI-1." katanya. Semoga salah penempatan ini bisa ditindaklanjuti.

Selanjutnya Ibu Esti memberikan pemaparan tentang Wajah Baru Jakarta. Menurut Ibu Esti, Wajah Baru Jakarta menghadirkan keadilan, kedaulatan dalam setiap kebijakan, mengusahakan persatuan, bukan sekadar merayakan keberagaman yang memang sudah menjadi keniscayaan. "Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ingin memastikan Jakarta yang lestari, Jakarta yang memberi kebahagiaan untuk generasi sekarang dan yang akan datang," demikian Ibu Esti.

Seharusnya tempat Sang Saka (Sumber: Makalah Ibu Yuke)
Seharusnya tempat Sang Saka (Sumber: Makalah Ibu Yuke)
Puncak 
Berhubung setiap Senin kawasan Monas ditutup untuk umum, kami para peserta seperti 'raja dan ratu' sehari. Para peserta secara bergelombang diajak menikmati koleksi-koleksi yang ada di dalam Museum Sejarah Nasional. Juga mendengarkan pembacaan teks proklamasi, setelah pintu berlapis emas terbuka.

Kami pun menuju puncak tertinggi menggunakan lift. Pemandangan Jakarta terlihat jelas dari atas, meskipun ada yang tertutup gedung-gedung tinggi. Dulu, pada 1960-an boleh dibilang belum ada gedung tinggi di seputaran Jakarta. Di rumah saya ada pohon karet setinggi belasan meter. Dari bagian tertinggi saya bisa melihat puncak tugu yang keemasan. Ketika itu saya tinggal di Jatinegara.

Pintu berlapis emas (Dokpri)
Pintu berlapis emas (Dokpri)
Maskot
Pada 1978 pengelolaan Monumen Nasional diserahkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joeseoef kepada Gubernur DKI Jakarta, Tjokropranolo.  Pak Gubernur sempat 'bingung' karena sebelumnya Museum Kebangkitan Nasional dan beberapa museum lain diserahkan oleh Pemerintah DKI Jakarta ke Pusat, justru ini sebaliknya. Akhirnya Tjokropranolo menerima juga.

Pemandangan dari puncak Monas (Dokpri)
Pemandangan dari puncak Monas (Dokpri)
Setelah Tugu Nasional rampung, Jalan Medan Merdeka (Utara, Selatan, Barat, Timur) menjadi penting. Di Jalan Medan Merdeka Utara terletak istana presiden, di Jalan Medan Merdeka Selatan terletak Perpustakaan Nasional, di Jalan Medan Merdeka Barat terletak Museum Nasional, dan di Jalan Medan Merdeka Timur terletak Galeri Nasional. 

Saat ini Tugu Nasional menjadi maskot DKI Jakarta, tentunya didampingi ondel-ondel.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun