Pembangunan Tugu Nasional berawal dari pengalaman Presiden Soekarno selama muhibah pada 1956 mengunjungi berbagai bandar udara internasional di negara-negara terkemuka serta suguhan keindahan kotanya. Beliau memiliki keinginan untuk juga memiliki berbagai karya monumen, gedung-gedung bertingkat, fasilitas olah raga, serta bandara internasional yang membanggakan.Â
Tekad itu dituangkan ke dalam  persiapan Kota Jakarta sebagai ibu kota Negara ke dalam satu blueprint yang dinamai Djakarta City Planning. Demikian Ibu Yuke mengawali pemaparannya dalam diskusi Mugalemon di Museum Sejarah Nasional di dalam Tugu Nasional, Senin, 15 Juli 2019.
Kemudian Ibu Yuke menyebutkan adanya istilah Panggung Indonesia. Ini metafora, gaya bahasa atau majas untuk menyatakan fenomena Arsitektur Mercusuar yang tergelar pada 'Ruang yang di-Agung-kan' sepanjang koridor jalan utama Ibu kota Negara di Kota Jakarta 1960-an. "Sebagai area presentasi sekaligus representasi untuk melukiskan segala sesuatu tentang Indonesia melalui skenario artistik yang divisualkan berdasar kaidah-kaidah arsitektural," kata Ibu Yuke.
Menurut Ibu Yuke, upaya-upaya penggalian kekhasan Indonesia dilakukan  melalui pemilihan lokasi, orientasi bangunan, pola keruangan, penampilan fisik, tatanan interior, warna, simbol serta nuansa. Dipertunjukkan mulai dari Terowongan, Pelataran Tugu, Cawan Tugu, Museum Sejarah Nasional, Ruang Kemerdekaan, Badan Tugu, Pelataran Puncak Tugu dan Api Kemerdekaan. Berupa produk kesenirupaan mulai dari seni lukis, seni grafis, seni pahat, seni ukir, seni patung realis, seni logam, dan seni bangunan. Demikian kata Ibu Yuke tentang Tugu Nasional.
Ibu Yuke banyak meneliti tentang Tugu Nasional. Ia antara lain menggunakan arsip pribadi RM Soedarsono. Dalam arsip tersebut terekam posisi seharusnya Sang Saka ditempatkan. "Terkait hal ini pada 2014 sudah disampaikan kepada RI-1." katanya. Semoga salah penempatan ini bisa ditindaklanjuti.
Selanjutnya Ibu Esti memberikan pemaparan tentang Wajah Baru Jakarta. Menurut Ibu Esti, Wajah Baru Jakarta menghadirkan keadilan, kedaulatan dalam setiap kebijakan, mengusahakan persatuan, bukan sekadar merayakan keberagaman yang memang sudah menjadi keniscayaan. "Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ingin memastikan Jakarta yang lestari, Jakarta yang memberi kebahagiaan untuk generasi sekarang dan yang akan datang," demikian Ibu Esti.
Berhubung setiap Senin kawasan Monas ditutup untuk umum, kami para peserta seperti 'raja dan ratu' sehari. Para peserta secara bergelombang diajak menikmati koleksi-koleksi yang ada di dalam Museum Sejarah Nasional. Juga mendengarkan pembacaan teks proklamasi, setelah pintu berlapis emas terbuka.
Kami pun menuju puncak tertinggi menggunakan lift. Pemandangan Jakarta terlihat jelas dari atas, meskipun ada yang tertutup gedung-gedung tinggi. Dulu, pada 1960-an boleh dibilang belum ada gedung tinggi di seputaran Jakarta. Di rumah saya ada pohon karet setinggi belasan meter. Dari bagian tertinggi saya bisa melihat puncak tugu yang keemasan. Ketika itu saya tinggal di Jatinegara.
Pada 1978 pengelolaan Monumen Nasional diserahkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joeseoef kepada Gubernur DKI Jakarta, Tjokropranolo. Â Pak Gubernur sempat 'bingung' karena sebelumnya Museum Kebangkitan Nasional dan beberapa museum lain diserahkan oleh Pemerintah DKI Jakarta ke Pusat, justru ini sebaliknya. Akhirnya Tjokropranolo menerima juga.
Saat ini Tugu Nasional menjadi maskot DKI Jakarta, tentunya didampingi ondel-ondel.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H