Melakukan gerakan literasi ternyata lumayan mahal dan menyita waktu. Sejak menjadi jurnalis pada 1980-an, tak lupa saya selalu meminta buku, terutama dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Waktu itu di bawah kementerian ada Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, kini Direktorat Jenderal Kebudayaan. Buku-buku arkeologi, museum, sejarah, dan budaya yang saya dapat, saya kumpulkan sedikit demi sedikit.
Selain bertopik Sepurmudaya (sejarah, purbakala, museum, budaya), saya juga mengumpulkan buku-buku lain, seperti numismatik, astrologi, palmistri, pariwisata, arsitektur, dan sains. Kini buku-buku tersebut tersimpan dalam beberapa rak buku.
Tadinya saya hanya memiliki dua rak metal berukuran 80 x 30 x 180 cm. Ada juga rak jati dan rak kayu lapis. Tapi sayang buku-buku tersebut tersebar di lima tempat. Malah karena kamar tidur saya berukuran 4 x 5 m, beberapa rak saya tempatkan di sana. Sebenarnya sih agar terpusat bisa ditempatkan di dua tempat.
Rencananya ada kamar kosong berukuran 2,5 x 2 m. Di depannya ada ruangan 2,5 x 3 m. Namun kamar tersebut perlu diperbaiki di sana-sini. Bagian langit-langitnya pun sudah kurang layak. Bila hujan deras, pasti air akan tampias.
Kendala saya jelas anggaran. Maklum, saya 'pengacara' alias pengangguran banyak acara. Selama bertahun-tahun saya pernah hidup hanya dari menulis di media cetak. Tapi sejak media cetak tergerus oleh media daring, saya jarang memiliki kesempatan untuk menulis lagi. Jadi untuk membeli rak buku ataupun untuk memperbaiki rumah yang amburadul, sampai sekarang belum kesampaian.
Cari rezeki di era digital memang agak susah. Dikit-dikit ada sih, dapatnya recehan istilahnya. Saat ini  sejumlah buku sudah tersusun rapi. Namun buku-buku tersebut belum sempat saya klasifikasi. Padahal kalau diklasifikasi akan memudahkan pencarian.
Banyak buku masih tersimpan dalam beberapa kontener. Semoga bisa terbeli dalam waktu singkat. Oh ya, selain buku, saya pun memiliki koleksi makalah. Makalah-makalah itu ada yang sudah dibundel, ada yang belum. Ada sekitar sepuluh kontener makalah.
Koleksi lain berupa surat atau dokumen, yang saya simpan dalam belasan map berplastik yang disebut clear holder. Koleksi yang makan tempat adalah kliping. Ada sekitar 50 ordner, terdiri atas topik-topik arkeologi, sejarah, museum, pariwisata, sejarah, numismatik, dan lain-lain.
Impian saya sih sederhana. Koleksi-koleksi itu akan saya buka untuk masyarakat di rumah saya. Saya akan menamakan Perpustakaan RIMI (Rumah Inspirasi, Motivasi, dan Inovasi). Mengingat terkendala kondisi keuangan, entah kapan impian itu terujud.
Nah, sejak bertahun-tahun lalu saya mendengar keluhan masyarakat di luar Jakarta yang kesulitan mencari buku atau literatur tentang Sepurmudaya. Terus terang, buku-buku dari instansi pemerintah bisa diperoleh secara gratis. Namun, masyarakat harus datang sendiri ke instansi terkait.
Untuk itulah saya mulai tergerak mengadakan KUBU (KUis BUku), GEMES (GEakan MEnulis Sejarah), dan GEMAR (GErakan Menulis ARkeologi). Kegiatan itu saya selenggarakan lewat Facebook. Ongkos kirim saya tanggung dengan uang pribadi. Di luar itu saya sesekali membagikan buku yang saya peroleh untuk taman-taman baca daerah.
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H