Jalur Sutra, baik melalui darat maupun laut, sudah dikenal sejak lama menjadi milik Tiongkok. Sebenarnya Nusantara pun punya Jalur Rempah. Sejak berabad-abad silam, cita rasa dan aroma rempah telah mengguncang dunia. Rempah merupakan salah satu alasan terbukanya jalur perdagangan di dunia baru sejak awal abad ke-15.
Bahkan ada informasi yang menyebutkan rempah telah digunakan jauh sebelum itu, yakni untuk pengawetan mayat atau mumi dari Mesir purba. Mumi itu berusia ribuan tahun. Dipercaya rempah Nusantara telah digunakan oleh berbagai bangsa dan kebudayaan untuk berbagai keperluan, seperti pengobatan, bumbu masak, dan kosmetika.
Persilangan budaya dan pertemuan antarbangsa berdasarkan upaya mendapatkan rempah, memiliki andil besar dalam membentuk sejarah dunia. Bagi bangsa Indonesia, rempah bukan sekadar komoditas, tetapi berperan besar dalam membentuk budaya dan identitas bangsa ini.
Mengingat perlunya masyarakat, terutama generasi muda, memiliki wawasan tentang rempah, maka Museum Bahari menyelenggarakan beberapa kegiatan yang berkenaan dengan rempah. Kegiatan itu juga dikaitkan dengan Hari Museum Internasional setiap 18 Mei. Pasar Rempah, begitulah topik kegiatan, dengan subtema aroma masa silam, tradisi wewangian, dan cita rasa masa depan.
Kegiatan dibuka pada 18 Mei berupa pameran, yang akan berlangsung hingga 13 Juni 2019. Seminar Rempah sebagai Pemersatu Bangsa diadakan pada Kamis, 23 Mei 2019. Dilanjutkan lomba digital art pada Sabtu, 25 Mei 2019.
Museum Bahari dulunya merupakan gudang rempah. Gedung ini mulai dibangun pada abad ke-17. Sungguh pantas bila kegiatan yang berkenaan dengan rempah diselenggarakan di sini.
Berbagai informasi tentang rempah disajikan dalam pameran. Dimulai dari perang rempah, dimulai pada 1511 etika Portugis merebut Malaka. Puncaknya pada 1640-1641 ketika VOC berhasil merebut Malaka dari Portugis.
Ada kisah tentang pembantaian Banda. Kedatangan dan upaya bangsa Eropa untuk memonopoli perdagangan rempah di Nusantara memicu terjadinya konflik bersenjata di berbagai daerah, baik antarnegara Barat maupun dengan penguasa lokal. Konflik ini menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit, terutama dari pihak daerah penghasil rempah. Konflik akhirnya meredup ketika rempah berhasil diselundupkan keluar dari negeri rempah, dan kemudian ditanam di tempat lain.
Berjenis rempah, ikut dipamerkan, seperti pala, cengkeh, lada, kayumanis, dan kapulaga. Aromanya cukup terasa. Selain itu ada beberapa jenis jamu sachet dan jamu botol sebagai ilustrasi.
Beberapa jenis kapal layar yang pernah dipakai sebagai kapal dagang, ikut mengisi ruang pameran. Koleksi lain berupa koin dari kerajaan Cirebon. Adanya pemutaran film dokumenter, ikut mendukung upaya memperkenalkan rempah dan sejarah.
Kamis, 23 Mei 2019 berlangsung seminar rempah. Pembicara pertama, Pak Didik Pradjoko menceritakan tentang kata archipelago yang berarti lautan, bukan kepulauan yang selama ini diketahui masyarakat. Oleh karena itu, katanya, sejarah Indonesia tidak hanya menitikberatkan pada unsur darat tetapi juga lautan. Pak Didik merupakan dosen senior di Departemen Sejarah FIB UI.
Menurut Pak Didik, komoditi andalan Nusantara sampai dengan akhir abad ke-18 di antaranya cengkeh yang diproduksi di kepulauan Maluku, pala diproduksi di kepulauan Banda, dan lada diproduksi di Indonesia bagian barat.
Banyak hal terungkap dari seminar. Misalnya seorang penanya mengeluh minimnya informasi tentang rempah dari buku-buku sejarah. Ada juga tentang bumbu rempah dari India. Bahkan soal Vietnam sebagai pengekspor lada, padahal lada mentahnya berasal dari Indonesia. Tentu kita harus belajar cara pengolahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H