Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dana Riset Cukup Besar, Hasilnya Baru Laporan, Belum Publikasi

23 April 2019   18:20 Diperbarui: 23 April 2019   19:12 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para peserta diskusi buku (Dokpri)

Wallace sekolahnya tidak bagus. Begitu pula Rumphius. Wallace terkenal dengan teori Garis Wallace, yang membagi Nusantara atas tiga wilayah imajiner, yakni bagian barat, bagian tengah, dan bagian timur. Sementara Rumphius terkenal karena ketekunannya mengumpulkan dan mencatat segala jenis tumbuhan yang ditemuinya. Mereka meneliti karena hobi. Namun semangat mereka terhadap ilmu pengetahuan sangat besar.

Begitulah antara lain yang terungkap dari diskusi buku Belenggu Ilmuwan dan Ilmu Pengetahuan: Dari Hindia Belanda Sampai Orde Baru karya Andrew Goss. Diskusi diselenggarakan di Museum Nasional, menyambut ulang tahun museum tersebut yang ke-241 pada 24 April 2019.

Narasumber dalam diskusi adalah Hilmar Farid (Dirjen Kebudayaan yang juga Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia), Prof. Sangkot Marzuki, Prof. Herawati Sudoyo (keduanya dari Lembaga Eijkman), dan J.J. Rizal (sejarawan pendiri Komunitas Bambu). 

Dulu pada zaman kolonial memang para peneliti masih bersifat amatir. Mereka berasal dari kalangan tentara, bahkan pendeta sampai pelukis seperti Raden Saleh. Mereka meneliti untuk diri sendiri.

Di Batavia pada 1778 mereka mendirikan Bataviaasch Genootschaap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW), yang pada 1868 mendirikan Museum van Het BGKW, sekarang Museum Nasional. Pendirian BGKW dipelopori Radermacher dan dikembangkan oleh Raffles. Sampai saat ini Raden Saleh merupakan salah seorang penyumbang koleksi terbesar untuk Museum Nasional.

Para peserta diskusi buku (Dokpri)
Para peserta diskusi buku (Dokpri)
Sains atau Ilmu Pengetahuan?
Prof. Sangkot mengatakan sains berbeda dengan ilmu pengetahuan. Sains berkenaan dengan berpikir kritis, ada bukti, dan menerima kebenaran. Katanya, biologi itu bukan sains. Yang bersifat sains antara lain kimia dan fisika, karena ada teori dan bukti. Salah seorang peneliti, Eijkman, pernah mendapat Hadiah Nobel pada 1929. Prof. Sangkot lebih setuju kata Akademi Sains di Malaysia, daripada Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. 

Pada masa kolonial, dari banyak disiplin ilmu, yang paling dikenal bidang kedokteran. Terutama dengan berdirinya Sekolah Dokter Jawa atau STOVIA. Kualitas di STOVIA ternyata sama dengan di Belanda. Tidak heran lulusan STOVIA yang ke Belanda bisa memperoleh gelar yang lebih tinggi dalam waktu singkat.

Menurut para pembicara, pengungkapan hal-hal baru harus dalam bentuk publikasi. Ini sebagai ukuran kemajuan, dan ternyata sampai kini publikasi masih minim. Akibatnya penelitian yang sudah dilakukan 150 tahun lalu, diulang lagi. "Level kita masih rendah," kata Prof. Sangkot, "Karena kita cuma bisa mendeskripsikan". Sebagai perbandingan, Wallace melakukan pengamatan lantas mengeluarkan teori.  

Buku yang didiskusikan (Dokpri)
Buku yang didiskusikan (Dokpri)
Lebih dari sejarawan
Menurut Pak Hilmar, orang yang mengumpulkan arsip dan sebagainya bisa lebih dari seorang sejarawan. Apalagi kalau ia mengumpulkan, meneliti, dan memublikasikan. Ditanya mengenai peran negara, katanya negara hanya sebagai fasilitator. "Yang kerjain yah masyarakat, saya hanya sebagai administrator," katanya.

Pak Hilmar menyebutkan pula, kalau dihitung-hitung musik kita yang dipakai di mancanegara bernilai Rp 3,1 Triliun. Namun mekanisme mengurusnya belum kita punya. 

Terungkap dalam diskusi tersebut, dana riset cukup besar. Namun umumnya cuma diketahui lewat laporan, belum dalam bentuk publikasi. Jadi ilmu lebih mengabdi kepada negara daripada ke masyarakat. 

Dengan adanya publikasi, misalnya, botani bisa dikaitkan dengan kedokteran. Manfaat kacang ijo dengan vitamin B1, justru diketahui masyarakat lewat publikasi. Maka sekarang kacang ijo menjadi hidangan wajib di rumah sakit. Pada abad ke-17 Rumphius sudah menyebut-nyebut kacang ijo.

Adanya berbagai litbang di kementerian juga menjadi bahan diskusi, misalnya soal penemuan gigi manusia purba. Semoga dari diskusi ini peneliti Indonesia semakin banyak membuat publikasi yang bermanfaat buat masyarakat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun