Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Memperkenalkan Arkeologi kepada Guru Lewat Rumah Peradaban

30 Maret 2019   06:50 Diperbarui: 30 Maret 2019   08:54 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rupanya arkeologi belum banyak dikenal oleh masyarakat, termasuk oleh guru. "Ketika mendapat undangan saya masih bingung, kok dari Jawa Barat ke Jakarta," kata seorang guru. Ia seorang pengurus MGMP Sejarah, atau lengkapnya Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sejarah. Di tingkat SLTA.  Sejarah menjadi pelajaran tersendiri. Sebaliknya di tingkat SLTP, dikenal pelajaran IPS yang terdiri atas Sejarah, Sosiologi, dan Geografi.

"Selama ini kami belum mengenal Balai Arkeologi. Kami sering berkomunikasi dengan Direktorat Sejarah. Juga dengan Balai Pelestarian Nilai Budaya lewat kegiatan Kemah Budaya," kata pengurus MGMP Sejarah lain. Demikian pula tentang Balai Pelestarian Cagar Budaya, masih membingungkan beberapa guru. 

Begitulah sedikit gambaran sebelum pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD) atau yang sekarang dikenal sebagai Diskusi Kelompok Terpumpun oleh Balai Arkeologi Jawa Barat di Museum Kebangkitan Nasional, Jumat, 29 Maret 2019. 

FGD bermaksud mencari masukan dari para guru dan dinas terkait tentang pelaksanaan Rumah Peradaban di DKI Jakarta pada Oktober mendatang. Kegiatan FGD dibuka oleh Kepala Balai Arkeologi Jawa Barat Deni Sutrisna didampingi Kepala Museum Kebangkitan Nasional Mardi Thesianto.

Sebelum ini Rumah Peradaban melibatkan siswa-siswa sekolah. Baru pertama kalinya Rumah Peradaban melibatkan para guru yang terkait dengan mata pelajaran sejarah. Diharapkan para guru akan menjadi corong agar anak didik mengenal lebih luas ilmu arkeologi.

Sejak 2016 Balai Arkeologi Jawa Barat telah melaksanakan program Rumah Peradaban di sejumlah tempat. Maklum, wilayah kerja Balai ini mencakup Jawa Barat, Banten, Lampung, dan DKI Jakarta. Dalam FGD tersebut berbicara tiga peneliti dari Balai Arkeologi Jawa Barat, yakni Ibu Santi, Bapak Oerip, dan Bapak Octaviadi.

Pak Deni dan Pak Mardi dalam acara pembukaan FGD Rumah Peradaban (Dokpri)
Pak Deni dan Pak Mardi dalam acara pembukaan FGD Rumah Peradaban (Dokpri)

 Hasil penelitian

Rumah Peradaban merupakan sarana edukasi dan pemasyarakatan hasil penelitian arkeologi untuk memberikan pemahaman tentang sejarah dan nilai budaya masa lampau dalam upaya melek budaya, pencerdasan bangsa, penumbuhan semangat kebangsaan, dan sumber inspirasi bagi pengembangan budaya yang berkepribadian. 

Ada berbagai kegiatan untuk mendukung Rumah Peradaban, antara lain Lokakarya Arkeologi, Sekolah Arkeologi, Pameran Arkeologi, Kemah Arkeologi, dan kunjungan situs. Begitulah yang saya kutip dari sini.

FGD kali ini mengharapkan masukan dari para guru dan dinas terkait tentang pelaksanaan Rumah Peradaban di DKI Jakarta. Dalam acara itu banyak curhat diberikan oleh peserta, misalnya minat terhadap sejarah dari para pelajar DKI Jakarta sangat rendah dan kunjungan ke museum masih minim terhalang birokrasi sekolah. Usulan lain juga disampaikan oleh para peserta, di antaranya membuat maket Batavia secara digital.

Dari kiri Pak Warsono (moderator), Ibu Santi, Pak Oerip, dan Pak Octaviadi (Dokpri)
Dari kiri Pak Warsono (moderator), Ibu Santi, Pak Oerip, dan Pak Octaviadi (Dokpri)

Sebagian besar peserta mengharapkan kegiatan Rumah Peradaban di DKI Jakarta mencakup kunjungan situs lalu menuliskan pengalaman masing-masing. Kegiatan berlangsung selama tiga hari dua malam. "Para peserta harus menginap, jangan disuruh pulang. Nanti mereka tidak balik," usul Pak Rochim dari Dinas Pendidikan.

Tentu saja kegiatan tergantung anggaran. Ironisnya, anggaran untuk arkeologi boleh dibilang semakin kecil. Nah, ini yang perlu diperhatikan pembuat kebijakan. Masalahnya, arkeologi selalu berpacu dengan pembangunan fisik. 

Kasus terakhir adalah penemuan situs kuno dalam pembangunan jalan tol di wilayah Malang, Jawa Timur. Banyak tinggalan kuno dari situs itu diambili masyarakat, bahkan ada yang dijual. Kita kecolongan lagi karena kurang perhatian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun