Akhirnya moda transportasi yang ditunggu-tunggu itu diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 24 Maret 2019. Mass Rapid Transportation atau MRT, yang kemudian disebut Moda Raya Terpadu, menjadi moda transportasi modern di Indonesia. Padahal, di beberapa negara Asia moda seperti itu telah ada lebih dulu. Bahkan bertahun-tahun sebelum Indonesia. Jadi sebagai negara besar di Asia, kita tertinggal lama dengan negara-negara yang lebih kecil.
MRT yang baru diresmikan itu disebut fase pertama mencakup rute Lebak Bulus--Bundaran Hotel Indonesia sepanjang 16 kilometer. Biaya pembangunan menghabiskan Rp16 triliun. Bersamaan dengan peresmian, dicanangkan pembangunan fase kedua rute Bundaran Hotel Indonesia-Kampung Bandan sepanjang 8,6 kilometer dengan biaya Rp22,5 triliun. Biaya kali ini lebih mahal karena memiliki tingkat kesulitan pembangunan lebih tinggi.
Sebelum peresmian, terlebih dulu dilakukan uji coba publik mulai 12 Maret 2019. Masyarakat sangat antusias menaiki kereta bawah tanah yang juga memiliki jalur di atas tanah. Mereka berbondong mendaftar lewat daring dan datang langsung.
Sejauh ini pemerintah provinsi DKI Jakarta belum menentukan tarif resmi MRT. Rapat dengan DPRD baru berlangsung pagi ini. Karena itu hingga akhir Maret 2019, masyarakat digratiskan.
Sebenarnya pembangunan MRT sudah disebut-sebut sejak 1980-an oleh Menteri Riset dan Teknologi ketika itu, B.J. Habibie. Namun karena kesulitan keuangan, baru dibicarakan lagi pada 2000-an. Setelah beberapa presiden dan beberapa gubernur, baru di era Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, beliau mengambil keputusan politik.
Diharapkan MRT menjadi transportasi publik yang aman, nyaman, dan tepat waktu. Kehadiran MRT bisa mengurangi kemacetan yang hampir selalu terjadi di Ibu Kota. Kemacetan yang menyebabkan masyarakat stres dan boros bahan bakar.
Rencana pembangunan fase kedua memang sudah keputusan politik. Kalaupun saya disuruh memilih, saya lebih cenderung penambahan bus TransJakarta sekaligus memperbaiki kualitas jalan khusus moda transportasi itu. Terus terang, pembangunan MRT pasti akan menimbulkan kemacetan selama beberapa tahun. Saya pikir sebaiknya biaya Rp22,5 triliun itu dibelikan saja bus-bus baru.
Saya coba-coba telusuri internet, harga sebuah bus Rp2,5 miliar. Berarti dengan Rp1 triliun kita akan dapatkan 400 bus. Nah, dibelikan saja bus. Pemerintah provinsi tinggal membuat halte-halte TransJakarta.
Saya pikir kalau setiap tahun ada penambahan bus TransJakarta sehingga masyarakat merasa aman, nyaman, dan tepat waktu, mereka akan beralih dari kendaraan pribadi. Memang naik kereta lebih cepat daripada naik bus. Namun kalau jalan lancar, pasti masyarakat akan berpartisipasi dengan bus.
Pihak kepolisian juga harus berperan. Sebaiknya perolehan tilang digunakan untuk membeli bus. Pihak-pihak swasta bisa membantu lewat program CSR yang mereka miliki. Lewat gotong royong, kemacetan akan teratasi.
Kalaupun tetap dengan membuat jalur bawah tanah, satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah melakukan Studi Kelayakan Arkeologi. Mengingat sejarah Jakarta yang begitu panjang, dipastikan masih banyak tinggalan masa lampau terkubur di dalam tanah.
Sejauh ini sejarah Jakarta masih gelap. Tinggalan yang masih bisa dilihat hanyalah berasal dari masa Kolonial dan masa Islam. Tinggalan-tinggalan dari masa-masa sebelumnya sudah rusak tergerus pembangunan fisik mengingat pembangunan fisik di Jakarta berkembang sangat pesat.
Mungkin saja ketika sedang mengeruk tanah tersembul benda-benda budaya dari masa lampau. Hal ini harus benar-benar menjadi perhatian serius. Contoh yang masih hangat adalah temuan tinggalan purbakala dalam pembangunan jalan tol di kawasan Malang, Jawa Timur awal Maret lalu. Diperkirakan ada candi dan artefak-artefak lain dari masa Kerajaan Majapahit.
Semoga ada penelitian ilmiah untuk pembangunan MRT fase kedua. Semoga pula transportasi publik di Jakarta menjadi lebih baik.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI