"Siapa yang pernah ke museum ini?" tanya Pak Giri kepada para peserta diskusi tingkat SLTP tentang Penanaman Karakter Generasi Milenial. Dari sekitar 70 siswa SLTP, hanya tiga siswa yang mengangkat tangan. Pak Giri, pemateri dalam kegiatan itu, geleng-geleng kepala. Memang parah, para siswa jarang sekali mengunjungi museum.
Diskusi penanaman karakter berlangsung di Museum Sumpah Pemuda. Pada hari pertama, 13 Maret 2019, kegiatan diikuti 12 sekolah. Begitu pun esok hari, 14 Maret 2019. "Kegiatan ini berlangsung dua hari dengan sekolah yang berbeda. Berhubung ruangannya tidak begitu luas, maka kegiatan dibagi dalam dua bagian. Total sekitar 200 peserta akan mengikuti kegiatan ini," demikian Kepala Museum Sumpah Pemuda Ibu Huriyati memberikan sambutan.
Para peserta, menurut Ibu Huriyati, diundang lewat sekolah. Sebagian lagi lewat media sosial. Karena itu ada peserta berasal dari luar Jakarta. "Di sinilah jati diri bangsa terbentuk lewat Kongres Pemuda 1928, dengan bahasa persatuan Bahasa Indonesia," kata Ibu Huriyati tentang Museum Sumpah Pemuda.
Kegiatan dipandu Pak Giri dan Pak Warsino. Sebelum kegiatan, para peserta dibagi menjadi beberapa regu dengan anggota dari sekolah yang berbeda. Mereka harus saling berkenalan. Setelah itu dipilih ketua regu. Selanjutnya para peserta diberikan waktu untuk memasuki ruangan koleksi museum.
Saat kembali ke tempat kegiatan, Pak Giri bertanya, "Siapa yang mampu menceritakan tokoh-tokoh yang ada di ruangan museum". Â Seorang siswa mengangkat tangan. Ia berbicara di depan dengan menceritakan dua tokoh beserta karakternya. Ada lagi yang kemudian mengangkat tangan. Tiga tokoh berhasil diceritakan. Tak mau kalah, seorang siswi mengangkat tangan pula. Ia mampu bercerita tentang empat tokoh. Karena tak ada lagi yang mengangkat tangan, maka ialah yang mendapat hadiah dari Pak Warsino.
Pak Warsino memberikan dua pilihan hadiah, yakni uang asli Rp 50.000 dan uang palsu Rp 100.000. Nah, kamu pilih yang mana? Tentu saja, biarpun nilainya lebih rendah, si siswi memilih Rp 50.000. "Karena bisa dipakai jajan," katanya beralasan. Nah, menurut Pak Warsino, falsafah asli memiliki nilai penting.
Pak Warsino lalu memberi contoh botol kosong. Bila diisi air mineral harga jualnya murah. Sebaliknya bila diisi jus buah, madu, atau mintak wangi, harganya semakin meninggi. Nah yang ironis, bila botol tersebut diisi air comberan, maka tidak ada nilainya.
Begitulah karakter, kata Pak Warsino. Kita harus memiliki karakter baik bila nama kita akan dikenang. Pak Warsino mencontohkan nama-nama jalan seperti M.H. Thamrin dan Sudirman.
Acara selanjutnya menuliskan mimpi-mimpi 30 tahun mendatang. Para peserta diberikan waktu sekitar 30 menit. Setiap kelompok diberikan waktu tiga menit untuk tampil membacakan mimpi-mimpi mereka. Ada yang memimpikan kendaraan listrik supaya tidak membuat polusi atau menghabiskan bahan bakar. Ada yang memimpikan teknologi internet yang canggih, dan lain-lain.
Ketika siswa-siswi sedang di ruang museum, para guru pendamping pun diberikan kuis. Masing-masing diminta menyebutkan nama-nama museum di Jakarta. Ada yang cuma tahu sepuluh. Ada juga lebih dari itu. Mereka memperoleh hadiah cukup lumayan, berupa flashdisk 32 GB.
Untuk mengenalkan museum sekaligus nasionalisme kepada generasi muda, Museum Sumpah Pemuda telah beberapa kali menyelenggarakan kegiatan edukatif. Nah, ayo berkunjung ke museum ini. Museum Sumpah Pemuda berlokasi di Jalan Kramat Raya Nomor 106, Jakarta Pusat. Kalau naik bus TransJakarta turun di halte Palputih, lalu jalan kaki sekitar 100 meter. Museum buka tiap hari, kecuali Senin dan hari besar. Ayo, berkunjung ke museum.*** Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H