Kamis, 28 Februari 2019 saya diundang mengikuti acara temu bulanan Mugalemon di Gedung Balai Pustaka, Jalan Bunga No. 8, Jakarta Timur. Mugalemon singkatan dari Museum, Galeri, dan Monumen. Acara bulanan itu menjadi kegiatan rutin Asosiasi Museum Indonesia (AMI) Jakarta Raya yang populer disebut Paramita Jaya.
Acara inti berupa paparan dari Pak Tubagus Andre Sukmana dari Direktorat Kesenian Kemdikbud dan Pak Achmad Fachrodji dari Balai Pustaka. Temanya konservasi buku-buku lama.
Seusai acara inti, saya dan peserta temu Mugalemon mendapat kesempatan mengelilingi gedung Balai Pustaka. Nama Balai Pustaka sendiri sudah akrab di telinga saya. Sewaktu sekolah, saya sering membaca buku-buku sastra terbitan Balai Pustaka. Saya pun pernah menjadi anggota Perpustakaan Balai Pustaka, yang ketika itu berlokasi dekat Lapangan Banteng. Setiap Minggu pagi saya hampir selalu ke sana. Naik bis kota turun di terminal Lapangan Banteng, lalu jalan kaki sekitar 200 meter.
Para peserta diajak keliling ruangan. Ada gambar tokoh-tokoh sastra Indonesia terpampang di dinding beserta kutipan kalimat. Tokoh-tokoh dunia pun ikut mengisi dinding. Naik ke lantai selanjutnya, peserta diajak melihat buku-buku lama yang pernah diterbitkan Balai Pustaka. Buku-buku lama itu dipajang dalam lemari-lemari, mirip koleksi museum.
Ruangan ini terbuka untuk umum. Hanya buku-buku lama tersebut tidak bisa dipinjam. Yang bisa dipinjam adalah buku-buku yang terdapat dalam dua ruangan. Setiap ruangan berisi sejumlah rak buku. "Pengunjung bisa memilih sendiri atau meminta bantuan petugas," kata seorang pemandu.
Ada komputer untuk membantu pengunjung. Beberapa meja dan kursi juga tersedia di sana. Adanya pendingin ruangan sangat membantu kenyamanan. Ruangan untuk anak-anak berada di bagian pojok. "Ini bantuan dari CSR beberapa BUMN," kata pemandu tadi menjelaskan.
Balai Pustaka merupakan penerbit lama dan percetakan  berusia tua. Balai Pustaka didirikan dengan nama Commissie voor de Inlansche School en Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Rakyat) oleh pemerintah Hindia-Belanda pada 15 Agustus 1908. Balai Pustaka dikenal sering menerbitkan buku-buku sastra macam novel, misalnya Salah Asuhan karya Abdul Muis atau Siti Nurbaya karya Marah Rusli. Angkatan Balai Pustaka, begitulah para sastrawan itu dikenal.
Selain buku sastra, Balai Pustaka juga menerbitkan kamus, buku sejarah, sosial, politik, agama, ekonomi, dan pertanian. Buku Sejarah Nasional Indonesia yang terdiri atas enam jilid, misalnya, merupakan terbitan Balai Pustaka. Bukan hanya dalam bahasa Melayu, ketika itu buku-buku dalam bahasa daerah seperti Jawa, Sunda, dan Madura juga diterbitkan Balai Pustaka.