"Bukan museum biasa," begitulah sebagian jingle Museum Bank Indonesia yang dibawakan sejumlah karyawan Museum Bank Indonesia. Para pengiring pun berasal dari karyawan. Itulah lagu pengiring acara pembukaan kegiatan.
Kamis, 31 Januari 2019, Museum Bank Indonesia kembali menyelenggarakan acara santai. Acara itu diikuti sejumlah komunitas museum dan instansi museum di kawasan Kota Tua Jakarta. Â Nama acaranya "Silaturahmi Museum, Komunitas Museum, dan Sahabat Museum di Kota Tua Jakarta".
Sore itu auditorium Museum Bank Indonesia terasa padat. Sekitar 60 orang memenuhi ruangan tersebut. Turut hadir Bapak Yiyok T. Herlambang, Ketua Asosiasi Museum Indonesia Jakarta Raya "Paramita Jaya". Pak Yiyok pernah menjabat Kepala Museum Bank Indonesia.
Acara diawali sambutan Pak Dandy Indarto Seno, yang baru menjabat Kepala Museum Bank Indonesia. Karena baru saja masuk dunia permuseuman, beliau mengharapkan kerja sama dengan komunitas dan mitra-mitra lain. Direktur Departemen Komunikasi Pak Agusman ikut memberikan sambutan. Beliau menyambut baik upaya yang dilakukan oleh Museum Bank Indonesia.
![Karyawan Museum Bank Indonesia menyanyikan jingle Museum Bank Indonesia (Dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/01/31/silaturahmi-02-5c52f32c677ffb5e3a027d62.jpg?t=o&v=770)
Pentas Teater Koma menjadi 'bintang' dalam silaturahmi tersebut. Dikisahkan seorang reporter TV mewawancarai uang-uang lama untuk berjalan ke masa depan. Yang pertama tampil Gobog dari Kerajaan Majapahit.
Gobog Majapahit berbentuk lingkaran dengan lubang segiempat di bagian tengah. Salah satu sisi dihiasi beberapa gambar. Tulisan pada koin beraksara Jawa Kuno. Koin tersebut menjadi alat tukar penting pada abad ke-14.
Berikutnya muncul Gobog Banten. Berbeda dengan Gobog Majapahit, dikatakan Gobog Banten hanya terdiri atas satu mula bertuliskan aksara Arab. Maklum Banten memang merupakan Kesultanan Islam.
Uang Kampua atau Bida muncul kemudian. Uang ini sangat unik karena terbuat dari kain yang ditenun oleh putri-putri keraton. Ukuran uang sebesar telapak tangan perdana menteri ketika itu. Corak uang kampua sangat beragam. Semakin banyak benang berwarna-warni, semakin tinggi nilainya.
![Pentas Teater Koma bercerita tentang numismatik (Dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/01/31/silaturahmi-03-5c52f2dbbde5757c89227a12.jpg?t=o&v=770)
Museum Bank Indonesia merupakan museum uang terbesar di Indonesia. Koleksinya amat beragam, termasuk kategori "specimen". "Specimen" merupakan contoh mata uang sebelum diterbitkan secara resmi.
Koleksi berusia ratusan tahun, seperti dari abad ke-9, ada di museum ini. Pokoknya uang-uang yang pernah beredar di seluruh Nusantara ada di museum ini. Memang belum lengkap, misalnya uang-uang masa kerajaan atau uang masa revolusi fisik (1947-1949).
Sepengetahuan saya, banyak uang masa kerajaan banyak 'lari' ke mancanegara. Maklum dunia numismatik mereka sudah maju. Banyak numismatis pun memiliki kelebihan finansial. Beda dengan kondisi di Indonesia tentunya.
![Para peserta silaturahmi komunitas (Dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/01/31/silaturahmi-01-5c52f40243322f4e147b3f1a.jpg?t=o&v=770)
Dulu sekitar 1987 saya pernah mengunjungi Museum Artha Suaka di Jalan Kebon Sirih, Gedung Bank Indonesia sekarang. Ketika itu museum belum dibuka untuk umum. Pengunjung harus mengirimkan surat permohonan kunjungan ke bagian UPU (Urusan Pengeluaran Uang).
Semakin lama perhatian kepada Museum Bank Indonesia semakin besar. Atas usaha Ibu Miranda Gultom, Museum Bank Indonesia mulai beralih lokasi ke kawasan Kota Tua Jakarta.
Museum uang yang lengkap tentu bukanlah Museum Bank Indonesia. Sebagian koleksi justru dimiliki Museum Nasional, yang di dalamnya ada bagian Numismatik. Saya pernah lihat koleksi uang kampua milik Museum Nasional lumayan banyak dan berkualitas cukup bagus. Berbeda dengan koleksi Museum Bank Indonesia yang tinggal sepotong.
Jadi kalau mau mengunjungi museum uang terlengkap, yah gabungan Museum Bank Indonesia dan Museum Nasional. Semakin sempurna kalau bergabung lagi Museum Uang Purbalingga dan Museum Uang Sumatera.
Mengingat Bank Indonesia memiliki anggaran cukup besar, sebaiknya bekerja sama dengan para numismatis untuk memperoleh koleksi yang belum ada atau belum lengkap. Mari melestarikan uang-uang lama sekaligus belajar sejarah perekonomian di Museum Bank Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI