Setelah lebih dari 30 tahun, saya kembali menjejakkan kaki di Kampung Tugu, Jakarta Utara. Dalam dunia arkeologi situs Tugu amat dikenal. Di kampung itu pernah ditemukan Prasasti Tugu, yang pernah saya tulis di sini. Uraian lainnya bisa lihat pula yang ini. Begitu kendaraan berhenti di depan lokasi, tampak Gereja Tugu seakan menunggu kedatangan kami. Bangunan kuno itu berasal dari pertengahan abad ke-17.
Kebetulan hari itu, Minggu, 6 Januari 2019 akan diselenggarakan acara tradisi tahunan Mandi-mandi. Acaranya berlangsung di gedung baru, sekitar sepuluh meter dari bangunan gereja. Karena acara masih lama, kami berkeliling dulu di seputar Gereja Tugu. Di halaman depan tampak beberapa makam para tokoh gereja.
Kami ditemani Pak Arthur Michiels. Beliau bercerita panjang lebar tentang kampung Tugu, Mardijker, Gereja Tugu, Portugis, dan lain-lain. Kami diajak masuk ke dalam gereja.
Mandi-Mandi rutin diselenggarakan oleh warga Kampung Tugu, yang umumnya peranakan Portugis setiap Minggu pertama bulan Januari. Salah satu kegiatan unik pada acara Mandi-Mandi adalah saling mencoreng wajah dengan bedak cair, sebagai simbol membersihkan diri dari segala kesalahan untuk memasuki tahun baru.
Sebelum acara puncak berlangsung, masyarakat dihibur oleh anak-anak, remaja, dan dewasa dengan tarian dan nyanyian. Setelah makan siang, barulah acara Mandi-Mandi dimulai.
Ada keakraban di antara masyarakat Tugu yang umumnya beragama Protestan. Hampir setiap keluarga menyumbang makanan, untuk disantap bersama dengan para undangan.
Seusai makan siang, acara Mandi-Mandi dimulai. Bukan hanya warga sekitar yang saling coreng. Tamu-tamu yang hadir pun boleh saling mencoreng. Termasuk dari komunitas saya, Kelompok Pemerhati Budaya dan Museum Indonesia (KPBMI). Beberapa komunitas yang sering blusukan pun hadir pada acara itu.
Sebelumnya pada 1 Januari 2019 berlangsung acara Rabo-Rabo. Â Tradisi tahun baru itu ditandai dengan menyalami, bahkan mencium pipi kanan dan kiri. Tradisi Rabo-Rabo sudah lama dilakukan. Dalam acara itu, setiap mampir ke rumah, ada yang ikut ke rumah lain sampai rumah terakhir.
Bukanlah Kampung Tugu namanya kalau tidak ada musik keroncong. Keroncong Tugu sudah cukup populer. Tradisi Mandi-Mandi dan Rabo-Rabo selalu diiringi musik keroncong.
Saking uniknya Keroncong Tugu---karena  berbeda dengan musik keroncong pada umumnya---Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2016 lalu memberikan penghargaan sebagai warisan budaya tak benda. Maestro keroncong Tugu yang masih bertahan terdiri atas keluarga Quicko dan Michiels. Pemain keroncong Tugu umumnya berasal dari keturunan Mardijker.
Seni musik ini sampai ke Kampung Tugu sekitar abad ke-17. Disebut Keroncong Tugu karena hanya berkembang di Kampung Tugu. Dulu musik ini disebut Cafrinho Tugu. Kalau ada acara-acara khusus di lingkungan Pemprov DKI Jakarta, keroncong Tugu hampir selalu ditanggap.