Kami menyewa sebuah rumah panggung di lokasi itu. Ada empat buah kamar tersedia di dalamnya. Makanan yang disuguhkan dimasak menggunakan kayu bakar. Pisang rebus, singkong, dan bajigur ikut disajikan. Belum lagi teh daun jati.
Pada hari pertama, kami disuguhkan tari jaipongan. Setelah itu kami diajari gerak tari tersebut meskipun tentu saja kacau balau. Tapi yang penting berpartisipasi melestarikan kesenian Sunda.
Pada hari kedua, Mang Ukat bercerita tentang sejarah Sindangbarang. Setelah bercerita, Mang Ukat mengajak kami menuju Taman Sri Bagenda (kolam berukuran 15 meter x 45 meter) dan Sumur Jalatunda yang terbilang dekat. Sebenarnya masih ada tinggalan-tinggalan lain namun jaraknya cukup jauh.
Menjelang kembali ke Jakarta, Mang Ukat mengajarkan kami membuat wayang dari daun singkong. Memang agak aneh tapi inilah khas Sindangbarang. Menurut Mang Ukat, dulu wayang ini dibuat penggembala kerbau sambil beristirakat di pinggir sawah. Jadi berupa wayang mainan sehingga tidak akan bertahan lama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H