Dalam bekerja, kedua kaki dan tangan mereka dirantai. Pasti maksudnya agar mereka tidak melarikan diri. Â Mereka inilah yang dikenal sebagai "orang rantai". Uniknya, banyak makam mereka tidak diberi nama, hanya diberi nomor. Jadi kita tidak tahu siapa yang dimakamkan di situ.
Tidak seluruh nisan berhasil ditemukan. Saat ini di Museum Goedang Ransoem terdapat sekitar 200 nisan orang rantai. Dari hasil penelusuran diketahui nomor terkecil 03 dan nomor terbesar 2900-an. Makam orang rantai sudah bercampur dengan makam masyarakat. Â
Salah satu bekas tambang masih banyak dikunjungi orang. Lubang Mbah Soero namanya. Mbah Soero berprofesi mandor tambang ketika itu. Lubang Mbah Soero, Museum Goedang Ransoem, Museum Kereta Api, dan beberapa museum lain kini menjadi andalan untuk menarik wisatawan.
Tinggalan kolonial
Pada masa kini cukup banyak tinggalan kolonial yang tersisa di Sawahlunto. Untuk sementara diketahui ada 116 cagar budaya di Sawahlunto. Maka Sawahlunto mulai mengubah diri menjadi sebuah kota yang menggerakkan roda perekonomian berbasis industri pariwisata warisan budaya.
Menurut Wakil Walikota Sawahlunto, Zohirin Sayuti, pemerintah kota dan masyarakat mempersiapkan kegiatan-kegiatan pendukung seperti Sisca (Sawahlunto International Songket Carnival) dan Festival Wayang Nusantara. Pada 2015 tambang batu bara Ombilin-Sawahlunto menjadi daftar sementera warisan budaya dunia Unesco.
Mengingat potensi yang besar itu, maka pada 2001 dikeluarkan peraturan daerah untuk pendataan tinggalan bersejarah, penelitian rekonstruksi bekas kota tambang, kajian action plan tentang pengembangan pariwisata, dan lain-lain.Â
FIB UI terlibat dalam penelitian di sana, antara lain tentang konstruksi cara pandang masyarakat lokal terhadap cagar budaya, kelas pekerja industri tambang abad ke-19---20, dan penyusunan perangkat pembelajaran untuk menunjang pendidikan berbasis keunggulan lokal.
Walikota Sawahlunto, Bapak Deri Asta, yang baru terpilih dua bulan lalu, ikut hadir pada 5 Desember itu. Sayang beliau ada acara yang tidak bisa diwakilkan sehingga tidak hadir pada acara seminar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H