Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Orang Rantai" di Sawahlunto, Pekerja Paksa di Tambang Batu Bara pada Masa Kolonial

6 Desember 2018   08:39 Diperbarui: 6 Desember 2018   11:22 805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lokomotif Mak Itam, maskot pameran (Dokpri)

Pak Walikota (nomor 2 dari kiri) dan Pak Wakil Walikota (paling kanan)/Dokpri
Pak Walikota (nomor 2 dari kiri) dan Pak Wakil Walikota (paling kanan)/Dokpri
Para narapidana atau pekerja paksa itu sering kali diperlakukan tidak manusiawi. Mereka harus bekerja keras untuk kepentingan pemerintah kolonial. Namun mereka hanya memperoleh sedikit makanan. Tentu berpengaruh pada kesehatan mereka.

Dalam bekerja, kedua kaki dan tangan mereka dirantai. Pasti maksudnya agar mereka tidak melarikan diri.  Mereka inilah yang dikenal sebagai "orang rantai". Uniknya, banyak makam mereka tidak diberi nama, hanya diberi nomor. Jadi kita tidak tahu siapa yang dimakamkan di situ.

Tidak seluruh nisan berhasil ditemukan. Saat ini di Museum Goedang Ransoem terdapat sekitar 200 nisan orang rantai. Dari hasil penelusuran diketahui nomor terkecil 03 dan nomor terbesar 2900-an. Makam orang rantai sudah bercampur dengan makam masyarakat.  

Salah satu bekas tambang masih banyak dikunjungi orang. Lubang Mbah Soero namanya. Mbah Soero berprofesi mandor tambang ketika itu. Lubang Mbah Soero, Museum Goedang Ransoem, Museum Kereta Api, dan beberapa museum lain kini menjadi andalan untuk menarik wisatawan.

Tinggalan kolonial
Pada masa kini cukup banyak tinggalan kolonial yang tersisa di Sawahlunto. Untuk sementara diketahui ada 116 cagar budaya di Sawahlunto. Maka Sawahlunto mulai mengubah diri menjadi sebuah kota yang menggerakkan roda perekonomian berbasis industri pariwisata warisan budaya.

Menurut Wakil Walikota Sawahlunto, Zohirin Sayuti, pemerintah kota dan masyarakat mempersiapkan kegiatan-kegiatan pendukung seperti Sisca (Sawahlunto International Songket Carnival) dan Festival Wayang Nusantara. Pada 2015 tambang batu bara Ombilin-Sawahlunto menjadi daftar sementera warisan budaya dunia Unesco.

Mengingat potensi yang besar itu, maka pada 2001 dikeluarkan peraturan daerah untuk pendataan tinggalan bersejarah, penelitian rekonstruksi bekas kota tambang, kajian action plan tentang pengembangan pariwisata, dan lain-lain. 

FIB UI terlibat dalam penelitian di sana, antara lain tentang konstruksi cara pandang masyarakat lokal terhadap cagar budaya, kelas pekerja industri tambang abad ke-19---20, dan penyusunan perangkat pembelajaran untuk menunjang pendidikan berbasis keunggulan lokal.

Walikota Sawahlunto, Bapak Deri Asta, yang baru terpilih dua bulan lalu, ikut hadir pada 5 Desember itu. Sayang beliau ada acara yang tidak bisa diwakilkan sehingga tidak hadir pada acara seminar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun