Majapahit dipandang sebagai kerajaan besar di Nusantara. Kekuasaannya berlangsung dari abad ke-13 hingga ke-15. Sekitar 300 tahun berkuasa, dari masa Kerajaan Majapahit pernah ditemukan 20-an prasasti. Prasasti adalah artefak bertulis yang dipahatkan pada bahan yang tidak mudah rusak/keras, seperti batu, logam, terakota-baik yang dibakar maupun tidak-, dan tanduk binatang. Prasasti berisi maklumat dari raja yang hanya dituliskan sekali, tidak diulang-ulang.
Begitulah kata Ibu Ninie Susanti dalam acara Sinau Aksara dan Bedah Prasasti yang diselenggarakan pada Minggu, 25 November 2018.
Acara Sinau Aksara menjadi program dua bulanan Kelompok Pemerhati Budaya dan Museum Indonesia (KPBMI). Acara ini diperuntukan masyarakat awam dan mendapat dukungan dari Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman serta Museum Nasional. Gotong royong, begitulah kuncinya, sehingga Sinau Aksara dan Bedah Prasasti ke-5 ini mendapat sambutan hangat dari 70-an peserta, yang terdiri atas, pelajar, mahasiswa, PNS, karyawan swasta, guru, bahkan dokter.
Prasasti dari masa Majapahit menyebutkan nama tokoh, seperti Gajah Mada pada Prasasti Gajah Mada dan Tribhuwana Tunggadewi pada Prasasti Palungan.
Kedua prasasti itu ada di Museum Nasional Jakarta. Dari seluruh prasasti masa Majapahit, hanya Prasasti Gajah Mada yang aksaranya bagus dan jelas. Bahkan lewat prasasti ini terbukti nama yang benar adalah Gajah Mada, bukan Gaj Ahmada sebagaimana ilmu cocokologi yang sering merebak dan menyesatkan masyarakat.
Ibu Ninie menceritakan pula Prasasti Pasrujambe yang ditemukan di Lumajang. Ada 20-an keping, namun beberapa keping telah raib. Dengan demikian memotong kisah sejarah karena kita tidak mengetahui lagi apa isi prasasti tersebut. Selain di Lumajang, beberapa prasasti Majapahit ditemukan di beberapa tempat di Jawa Timur. Sebagian bisa disaksikan di Museum Mpu Tantular dan Museum Trowulan.
Selesai pemaparan, peserta diminta mencari prasasti dari masa Majapahit beserta nomor inventarisnya. Prasasti-prasasti tersebut terdapat di Gedung A (gedung lama) dan Gedung B (gedung baru) Museum Nasional. Mereka sangat serius menemukan sebanyak-banyaknya prasasti yang dimaksud.
Kuis prasasti menjadi daya tarik karena berhadiah buku, kaos, dan tempat minum. Setelah diseleksi, ada enam peserta yang menjawab lebih dari lima prasasti. Yang terbanyak menjawab 11.
Latihan menulis dalam aksara masa Majapahit diberikan oleh Ibu Sri Ambarwati atau biasa dipanggil Ami. Sebelumnya diberikan penjelasan tentang vokal, konsonan, dan aksara gabungan. Setiap peserta diminta menulis nama masing-masing. Ada yang cepat bisa, namun ada juga yang agak bingung terutama jika namanya memakai ny dan ng. Ibu Ninie turut memberikan bimbingan. Juga beberapa epigraf yunior. Â
Kata Ibu Ninie, negara kita kaya aksara, misalnya aksara Pegon adalah aksara Arab yang dimodifikasi untuk menuliskan Bahasa Jawa dan Bahasa Sunda. Bahasa Jawa yang ditulis dalam aksara Arab tentu saja tidak lazim. "Coba kalau aksara Pegon dibawa ke Arab, pasti mereka tidak bisa baca lagi," kata ibu Ninie.