Salah satu sumber primer dalam sejarah adalah surat. Surat yang ditulis pada secarik kertas, mirip dengan prasasti pada masa yang lebih tua. Umumnya prasasti ditulis dengan media batu atau logam. Bedanya dengan prasasti, surat berisi hasil pemikiran atau perasaan seseorang, termasuk masalah cinta.
Surat pribadi pun ternyata layak dipamerkan, seperti yang dilakukan oleh Direktorat Sejarah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bekerja sama dengan historia.id. Mulai 10 November 2018 lalu, pameran bertajuk "Surat Pendiri Bangsa" diselenggarakan di Museum Nasional, Jalan Medan Merdeka Barat 12, hingga 22 November 2018 mendatang.
Bukan surat-surat formal atau kedinasan yang dipamerkan, tapi surat-surat yang ditujukan kepada sanak keluarga dan sahabat.
Ada banyak surat bertulis tangan dalam Bahasa Indonesia dan Belanda, bahkan diketik, dipamerkan. Sisi humanis jelas kelihatan. Mereka lemah-lembut, meskipun garang di bidang politik.
Ada delapan tokoh yang suratnya dipamerkan, yakni Sukarno, Moh. Hatta, H. Agus Salim, Sutan Sjahrir, Ki Hadjar Dewantara, Tan Malaka, John Lie, dan Kartini.
Menurut Bonnie Triyana, kurator pameran, ada 25 surat yang bisa disaksikan. Ke-25 surat itu disaring melalui seleksi ketat. Surat-surat itu dipajang dalam kemasan khusus sehingga aman. Maklum kertas merupakan bahan yang mudah lapuk.
Surat Kartini yang saya lihat bertanggal 1904. Berarti berusia 114 tahun. Diharapkan melalui pameran tersebut, masyarakat bisa melihat fakta yang sebenarnya dari surat sebagai sumber sejarah primer.
Kalau saja surat-surat itu disimpan masyarakat awam, mungkin akan musnah dimakan rayap. Untunglah surat-surat tersebut disimpan oleh keluarga atau instansi yang memang peduli.
Beberapa surat diperoleh dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Jalan Ampera, Jakarta Selatan. Beberapa surat, seperti surat Tan Malaka dan Sutan Sjahrir, ditelusuri di International Institute for Social History (Amsterdam) dan Het Nationaal Archief (Den Haag). Ada pula surat yang diperoleh dari Kees Snoek, pengajar di Universitas Sorbonne (Prancis). Surat milik Hatta diperoleh dari koleksi keluarga.
Peneliti Tan Malaka, Harry A. Poeze, juga berpartisipasi. Ia memiliki beberapa surat Tan Malaka yang diperoleh dari Dick van Wijngaarden, teman sekelas Tan Malaka ketika bersekolah di Belanda. Surat-surat Ki Hadjar Dewantara dipinjam dari Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta.